Anggota DPRD Sulut Billy Lombok dan Karo Administrasi dan SDA |
Jurnal,
Manado - Kondisi hutan yang mulai habis dinilai menjadi faktor utama penyebab
bencana banjir diseluruh wilayah Sulawesi Utara Aktivitas tambang pun menjadi
sorotan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) didesak tinjau kembali
semua lokasi galian C.
Persoalan
hutan yang kian menipis itu, jadi topik hangat dalam rapat antara Komisi II
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulut bersama Biro Adminsitrasi
Perekonomian dan Sumber Daya Alam (SDA), Rabu (1/3), di ruang rapat 3 kantor
dewan Sulut. “Saya mau katakan, hutan Lolombolan di Minsel (Minahasa Selatan)
sudah gundul. Jadi sangat penting sekali untuk ada pengawasan ketat terhadap
kelestarian hutan. Koordinasi dengan semua instansi terkait perlu dibangun,”
ucap personil komisi II, Billy Lombok, ditengah rapat.
Iapun
membeberkan, sekira 200 hektare (Ha) tanah negara yang dulu masih Minahasa Raya
yang ada di Kelurahan Tinoor statusnya sudah digarap. Hak garap yang diberikan
kepada masyarakat Tinoor itu ditengarai,
banyak berubah menjadi milik pribadi. “Bukan cuma tanah, ada juga persoalan
hutan yang sudah gundul. Jadi ada kejadian, dimana masyarakat Tinoor marah
kemudian membakar base camp pengusaha yang diduga sebagai aktor. Sesuai
informasi akan dijadikan usaha pertambangan, batu dan sebagainya. Ini kalau 200
Ha luar biasa,” jelasnya.
“Orang-orang
ini sedang mengejar surat-surat menggarap
kemudian tiba-tiba prosesnya sudah milik pribadi bahkan ada yang sudah
punya sertifikat. Kalau 200 ha bahaya sekali. Inilah yang menjadikan
longsor-longsor. Mereka mengancam akan ada aksi susulan karena sudah terjadi
jual beli,” sambung dia.
Teddy Kumaat
menambahkan, mulai tahun ini kewenangan kehutanan dan pertambangan telah kembali
ke tanggung jawab provinsi. Kemungkinan
besar ada izin-izin kabupaten/kota yang diberikan khsusus galian C, tidak sesuai izin analisis mengenai dampak
lingkungan (Amdal) yang seharusnya.
“Kami meminta Pemprov melalui instansi
terkait, pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup, supaya meninjau kembali
izin galian C yang telah diberikan Pemkab (Pemerintah Kabupaten) dan Pemkot
(Pemerintah Kota). Terutama di lokasi yang terdampak banjir dan longsor,” tegas
politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Dalam
peninjauan nanti izin Amdal perlu dilihat kebenarannya. Walaupun memiliki
Amdal, seringkali hanya di atas kertas. Padahal tidak layak untuk melakukan
operasi tambang. “Apa memang betul Amdal
atau cuma dibuat bagus saja. Karena ada yang tidak layak tapi dibuat layak,
hanya di atas kertas. Jadi persoalan hutan sudah sangat genting. Karena sudah
kewenangan provinsi makanya Pemprov harus bertindak,” kuncinya.
“Bayangkan
saja, hujan barusan tidak sampai 2 jam tapi daerah yang tak pernah banjir
justru banjir. Jadi ini mungkin sifatnya
masih hipotesa tapi harus ditinjau kembali. Di kaki gunung Lokon termasuk di
kaki gunung Mahawu, itu sudah ada tambang galian C yang baru beberapa tahun
belakangan,” terang dia.
Tambang
galian C menurutnya, perlu jadi perhatian
karena sebelum mengambil batu, harus memotong dahulu seluruh pohonnya. “Tinjau
kembali galian C. Apalagi hutan lindung, tanah negara yang dulu hijau tapi
semuanya sekarang sudah gundul,” tutupnya.
Menanggapi
masukan tersebut, Kepala Biro Adminstrasi Perekonomian dan SDA, Frangky E
Manumpil menyampaikan, hutan di tanah Nyiur Melambai memang banyak sekali
terjadi penurunan. “Lahan hutan Bitung tinggal 21 persen, Tomohon kurang dari
20 persen, Minahasa 7,5 persen. Ini terjadi penurunan areal lahan hutan mungkin
ini salah satu penyebab terjadi banjir,” tanggapnya.
“Dahulu
mungkin tempat parkir dan resapan air, kolam-kolam, sekarang sudah menjadi
perumahan. Mungkin ini perlu ada tata ruang di kabupaten/kota. Kita perlu
memperketat pengawasan penebangan hutan termasuk di hutan Lolombulan,”
pungkasnya. (bin)