
Jurnal,Jakarta - Ahli yang diajukan oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor 1 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, Komisi Pemilihan Umum, dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 2 Joko Widodo-Jusuf Kalla memberikan pendapat dan keahliannya dalam sidang terakhir Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada Jumat (15/8) di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi.
Ahli Pemohon Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yaitu Yusril Ihza Mahendra meminta agar MK juga dapat memutus konstitusionalitas dari pemilihan umum khususnya Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. “Setelah lebih 1 dekade keberadaan MK, sudah saatnya MK sendiri dalam menjalankan kewenangannya untuk melangkah ke arah yang lebih substansial dalam memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa pemilihan umum, khususnya dalam hal ini perselisihan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Seperti misalnya, yang dilakukan oleh MK Thailand yang dapat menilai apakah Pemilu yang dilaksanakan itu konstitusional atau tidak, sehingga bukan persoalan perselisihan mengenai angka-angka belaka,” ujar Yusril di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan Zoelva.
Sementara itu, Mantan Hakim Konstitusi Harjono selaku Ahli KPU sebagai Termohon, menjelaskan dalil mengenai pelanggaran terstruktur, tersistematis dan massif (TSM), membutuhkan pembuktian yang kuat. “Jadi itu semua ada suatu kaitan antara maksud untuk bisa menang dengan cara curang, itu harus ada unsurnya. Sejauh itu tidak bisa dibuktikan, maka itu tidak termasuk sebagai alasan TSM yang menyebabkan saya kira Mahkamah Konstitusi bisa mengambil putusan untuk dilakukan pemungutan suara ulang,” paparnya.
Sementara Irman Putra Sidin selaku Ahli Pemohon lainnya, menyebut Mahkamah tidak bisa lagi terus mengambil langkah minimalis dengan berpendapat bahwa meskipun terdapat perbedaan jumlah pemilih yang tercantum dalam DPT dalam pemilihan kepada daerah, karena Pemohon tidak mengajukan bukti yang meyakinkan. Irman menjelaskan jika Mahkamah menemukan berbagai macam persoalan yang bisa timbul dari proses dan hasil dari pemilu, maka terbuka jalan bagi MK untuk menunda keputusan KPU. “JIka MK menemukan baik itu menyangkut angka-angka, termasuk kehadiran seperti lembaga Bawaslu yang hadir sebagai garda terdepan pemenuhan hak konstitusional warga negara dan ternyata itu belum atau tidak dilaksanakan oleh KPU. Termasuk berbagai macam data-data yang dianggap kemudian itu bisa menimbulkan ketidakpastian hukum dari selisih suara yang didapat, maka ruang konstitusional terbuka untuk kemudian Mahkamah menunda penetapan keputusan KPU atas hasil pemilu ini,” jelasnya.
DPKTb Bukan Pelanggaran TSM
Mengenai DPKTb (Daftar Pemilih Khusus Tambahan) yang didalilkan pemohon sebagai pelanggaran TSM, Harjono menjelaskan DPKTB merupakan nomenklatur yang secara asasi berarti suatu rekadaya yang justru dibuka untuk memungkinkan hak substansi demokrasi dari warga negara yang terhalang oleh karena tidak terdaftar di DPT. Menurut Harjono, tidak terdaftar di DPT, bukanlah permasalahan, namun kelemahan dalam menyusun DPT.
“Jadi, pendapat saya permasalahan adalah tentang kehadiran. DPKTB merupakan satu nomenklatur yang harus diadakan karena untuk memfasilitasi hak demokrasi substansi warga negara yang terhalang kalau hanya batas apa yang ada di DPT. Jadi, kesimpulannya tidak merupakan suatu usaha yang dilakukan secara terstruktur, dan kemudian itu dilandasi atas satu keinginan untuk memenangkan kontestan tertentu dengan cara kecurangan,” tuturnya.
Hal serupa juga diungkapkan Ahli Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 2 Joko Widodo – Jusuf Kalla, Saldi Isra. Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Andalas ini menjelaskan dalil besarnya jumlah DPKTB dibandingkan jumlah ketersediaan surat suara tambahan yang sekitar 2% DPT tidak dapat dipersoalkan.
Hal tersebut, lanjut Saldi, sebab keduanya tidaklah linear dalam arti pengguna hak suara yang tidak terdaftar dalam DPT atau pemilih yang menggunakan KTP tidak identik dengan jumlah surat suara tambahan yang disediakan. Ia pun memamparkan tidak ada satu pun ketentuan yang mengatakan bahwa mereka yang terdaftar dalam daftar pemilih khusus atau daftar pemilih khusus tambahan hanya boleh menggunakan tambahan suara yang 2% tersebut. Dengan ruang yang tersedia bagi setiap warga negara yang tidak terdaftar dalam DPT untuk menggunakan hak pilihnya, maka tidak ada alasan bagi penyelenggara Pemilu membatasi jumlahnya sepanjang pemilih yang menggunakan KTP memberikan haknya sesuai dengan syarat dan waktu yang ditentukan, serta masih tersedianya surat suara di TPS tempat memberikan suara, maka wajib hukumnya bagi penyelenggara Pemilu untuk memfasilitasi mereka memberikan hak pilihnya tanpa menilai dari jumlah surat suara tambahan.
“Justru ketika penyelenggara Pemilu tidak mengizinkan pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT yang memenuhi syarat penggunaan KTP atau identitas lainnya, maka tindakan penyelenggara akan dapat dikualifikasir sebagai tindakan yang menghalang-halangi orang untuk memberikan hak pilihnya. Dengan basis argumentasi seperti itu, menyatakan kondisi di mana jumlah DPKTB secara nasional melebihi surat suara tambahan sebesar 2% DPT sebagai pelanggaran yang bersifat STM merupakan dalil yang tidak dapat diterima kebenarannya,” ungkapnya. (mk)