Presiden RI Jokowidodo.(ist) |
Jurnal,Nusakambangan - Suasana Lapas Pasir Putih, Nusakambangan pun terasa beda saat eksekusi hukuman mati akan dilaksanakan. Para terpidana yang akan dieksekusi terlihat resah. Namun, ada seorang terpidana mati yang begitu siap menghadapi regu tembak, dia adalah Ang Kim Soei, warga negara Belanda kelahiran Papua. Pria berusia 62 tahun itu memiliki beberapa nama alias, Ance Thahir, Kim Ho, dan Tommi Wijaya.
Dia juga dikenal sebagai Raja Ekstasi Ciledug. Itu karena dia ditangkap di pabrik ekstasi miliknya yang ada di kawasan Cipondoh, Ciledug, Tangerang, pada 2002.
Sekitar pukul 19.00, Ang Kim Soei dengan dikawal empat sipir meninggalkan lapas Pasir Putih. Dengan tangan diborgol, dia berjalan santai. Mengenakan kaos berwarna merah, raut mukanya tampak tenang.
Di Lapas Besi, Ang Kim Soei satu sel dengan Marco Archer C Moreira asal Brasil. Moreira adalah terpidana mati atas kasus penyelundupan heroin seberat 13,5 kg pada 2003.
Kalau Moreira uring-uringan dan tampak stres, Ang Kim Soei tampak tabah menghadapi ancaman maut. Di bawah sinar lampu neon yang terang, mukanya tampak sedih. Namun, tidak menunjukkan emosi yang berlebih. Tampak sekali, dia sudah menerima rencana eksekusi dirinya. Saat itu, seorang sipir mendatanginya.
"Pak, saya pamit ya. Maafkan jika ada kesalahan selama ini," ujar sang sipir kepada Ang Kim Soei. Keduanya lalu berjabat tangan dan sipir itu pergi keluar dari Lapas Besi.
Saat Jawa Pos mendekatinya, Ang Kim Soei menunjukkan sikap ramah. Dia mau diajak ngobrol, namun menolak untuk diambil gambar. Berikut petikan wawawancara eksklusif Jawa Pos dengan Ang Kim Soei.
Bagaimana keadaan Anda?
Baik-baik saja.
Apakah anda mengetahui akan dieksekusi mati?
Saya baru saja diberitahu rencana eksekusi. Sudah saya prediksi kalau pemindahan saya karena akan dieksekusi.
Anda menerima eksekusi ini?
Mau bagaimana lagi, ini sudah takdir harus saya terima.
Apakah ada pesan untuk seseorang?
Saya punya pesan untuk Presiden Jokowi, saya selama ini telah berubah dan terus berupaya berbuat baik. Salah satunya, dengan mengobati orang, baik narapidana atau warga sekitar. Ada puluhan orang yang telah saya obati. Saya memiliki kemampuan untuk mengobati, saya menggunakannya. Tapi, mengapa justru saya yang dihantam (dieksekusi). Padahal, banyak terpidana mati, yang tetap berbuat jahat di dalam penjara.
Jenis pengobatan apa yang dilakukan?
Ada banyak hal yang bisa digunakan untuk mengobati, ada berbagai tanaman obat dan semacamnya. Semua itu ada di Pulau Nusakambangan ini.
Apakah Anda punya pesan untuk masyarakat?
Saya menyesal telah membuat narkotika. Sebaiknya, masyarakat menjauhi narkotika, obat-obatan terlarang ini merusak tubuh secara perlahan. Paru-paru, jantung dan semua organ manusia.
Bagaimana proses hukum yang selama ini Anda jalani?
Dulu waktu saya ditangkap, polisi membuat berita acara pemeriksaan (BAP). Dalam BAP itu saya disebut sendirian. Padahal sebenarnya ada dua orang pelaku lainnya. Tapi, hal itu sama sekali tidak disebut. BAP itu saya setujui karena di bawah ancaman dan waktu di pengadilan sempat saya tolak BAP itu, tapi saya dianggap berbelit-belit. Bahkan, banyak orang yang mendemo saya di pengadilan. Pendemo itu meminta pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada saya.
Soal proses hukum, apa ada hal lain yang ingin diungkapkan?
Dulu saat di penjara Cipinang, saya sering kali harus memberikan uang Rp 5 ribu kepada setiap satu petugas. Dalam sehari, saya harus memberi Rp 5 ribu untuk lima petugas. Tentu hal itu menyusahkan, saya tidak punya uang. Tapi, begitu dipindah di Lapas Pasir Putih, kondisinya berbeda, sipir memperlakukan saya seperti keluarga.
Apa keluarga mengetahui Anda akan dieksekusi?
Mereka sudah mengetahuinya sejak dulu.
Bagaimana tanggapan keluarga?
Apa mau dikata, mereka tidak bisa berbuat apa pun. Saya memiliki empat anak, dua anak lelaki dan dua anak perempuan.
Apa permintaan terakhir Anda?
Tentu saja, saya ingin bertemu keluarga jika diperbolehkan. Kalau Jaksa membolehkan, saya akan lebih senang. Tidak ada yang lain!
Apakah mereka akan datang?
(Pertanyaan terakhir itu tidak dijawab Ang Kim Soei).
Lain halnya dengan Terpidana mati
kasus narkoba, saat ditemui vivanews.co.id.
Namaona Denis (48), warga Negara
Malawi, Nigeria menuliskan wasiat penting jelang eksekusi mati yang akan
berlangsung Minggu, 18 Januari 2015 dini hari nanti.
Wasiat itu berupa surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan seluruh rakyat Indonesia yang disampaikan isteri Denis, Dewi Retno Atik. Surat itu disampaikan sesaat setelah kunjungan terakhir di ruang isolasi LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu 17 Januari 2015.
Sekira pukul 14.00 rombongan keluarga dan kuasa hukum Denis keluar dari Dermaga Wijayakusuma dan langsung menyampaikan surat terbuka dari Denis yang memiliki nama asli Salomon Chibuke Okafer itu.
Isak tangis air mata Retno pun pecah saat dirinya membacakan surat terbuka suaminya jelang eksekusi. Didampingi kuasa hukum Denis, Chairul Anam, Retno yang mengenakan baju coklat muda dan dan jilbab warna coklat tua itu terlihat terbata-bata membacakan surat terakhir suami tercintanya.
Berikut surat terakhir terpidana mati Namaona Denis di detik-detik eksekusi mati yang akan dijalaninya:
Kepada Bapak Presiden dan seluruh rakyat Indonesia. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan saya karena sebagai manusia, saya tidak lepas dari kesalahan. Namun perubahan hukum saya dari hukuman seumur hidup menjadi terpidana mati, setelah selama 14 tahun berjalan, telah merampas keadilan yang selama ini saya perjuangkan. Saya mohon kepada masyarakat untuk memahami perjuangan saya memperoleh keadilan, agar tidak ada orang lain yang mengalami perlakuan seperti saya. Karena ternyata berkelakuan baik dan patuh pada aturan hukum di negara ini saja tidak cukup untuk mendapatkan keadilan. Karena itu melalui surat dari komans HAM yang bisa ditunjukkan oleh lawyer saya. Saya masih terus memperjuangkan keadilan yang tidak pernah saya dapatkan sampai saat ini. Dan atas nama saya Namaona Denis dan keluarga, berkali-kali saya mohon ampun kepada Allah, dan meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Wasalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.(jpnn/vvn)
Wasiat itu berupa surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo dan seluruh rakyat Indonesia yang disampaikan isteri Denis, Dewi Retno Atik. Surat itu disampaikan sesaat setelah kunjungan terakhir di ruang isolasi LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu 17 Januari 2015.
Sekira pukul 14.00 rombongan keluarga dan kuasa hukum Denis keluar dari Dermaga Wijayakusuma dan langsung menyampaikan surat terbuka dari Denis yang memiliki nama asli Salomon Chibuke Okafer itu.
Isak tangis air mata Retno pun pecah saat dirinya membacakan surat terbuka suaminya jelang eksekusi. Didampingi kuasa hukum Denis, Chairul Anam, Retno yang mengenakan baju coklat muda dan dan jilbab warna coklat tua itu terlihat terbata-bata membacakan surat terakhir suami tercintanya.
Berikut surat terakhir terpidana mati Namaona Denis di detik-detik eksekusi mati yang akan dijalaninya:
Kepada Bapak Presiden dan seluruh rakyat Indonesia. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan saya karena sebagai manusia, saya tidak lepas dari kesalahan. Namun perubahan hukum saya dari hukuman seumur hidup menjadi terpidana mati, setelah selama 14 tahun berjalan, telah merampas keadilan yang selama ini saya perjuangkan. Saya mohon kepada masyarakat untuk memahami perjuangan saya memperoleh keadilan, agar tidak ada orang lain yang mengalami perlakuan seperti saya. Karena ternyata berkelakuan baik dan patuh pada aturan hukum di negara ini saja tidak cukup untuk mendapatkan keadilan. Karena itu melalui surat dari komans HAM yang bisa ditunjukkan oleh lawyer saya. Saya masih terus memperjuangkan keadilan yang tidak pernah saya dapatkan sampai saat ini. Dan atas nama saya Namaona Denis dan keluarga, berkali-kali saya mohon ampun kepada Allah, dan meminta maaf kepada rakyat Indonesia. Wasalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.(jpnn/vvn)