
![]() |
Ilustrasi.(ist) |
Kulit
tua hitam dan legam duduk terpaku. Biarkan mentari yang masih malu – malu
leluasa menjamah tubuh petani tua. Area persawahan yang kering kerontang
terhampar didepan mata, dengan cangkul disamping, Tole pasrah saksikan lahan
garapannya gagal panen.
Tanah seluas
30 X 30 meter tersebut, yang biasa digarap dengan cara konvensional mulai dari tebar benih, tanam, perawatan,
pemupukan dan ditumbuhi tanaman padi sehingga memanjakan mata dengan warna
hijau menguning, kini kering dan terpecah – pecah berwarna coklat keputih –
putihan dan tak satupun rumput tumbuh ikut menumpang.
Biasanya, lelaki
52 Tahun ini telah bermain lumpur. Karena lokasi garapannya berkadar air
jenuh, banyak kandungan airnya,
sehingga leluasa tanaman padi menghiasi
alam dengan hijau yang nantinya berangsur menguning.
“Saya gagal
panen, karena panas berkepanjangan. Padahal sudah 82 hari, tinggal sebentar
lagi,” ucap Tole dengan wajah tegar dan mata berkaca- kaca, sambil berdiri
dipematang sawah, Desa Popontolen
Kecamatan Tumpaan Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel).
Padahal berbagai
upaya dilakukannya untuk mencapai hasil maksimal. 50 hari Tole menggarap tanah,
rumput dan jerami dibersihkan, sawah dibanjiri, agar tanah menjadi lembut,
rumput akan tumbuh menjadi mati, dan berbagai serangga yang dapat merusak bibit
mati pula. Memperbaiki tanggul dan pematang sawah. Memilih biji-biji yang
bertunas dan direndam berjam – jam dalam air serta di peram dibungkus memakai
daun pisang dan karung selama 8 jam, kemudian disemaikan secara merata disawah.
Tole pun tak
lupa melakukan penyemprotan dengan insektisida pada 10 hari setelah penaburan
dan sesudah pesemaian berumur 17 hari. Pupuk jenis urea, ZS/TS, ZK, semuanya
agar tanaman maksimal.
Tapi mimpi
buruk itu akhirnya menjadi kenyataan. Kemarau yang berkepanjangan menggerogoti
perut bumi, air tak lagi mengalir, tanah menjadi kering, tanaman diserang hama,
dan tanaman padi mati. Tole biasanya menari dipematang sawah yang subur tapi
kali ini ia harus menari di padang tandus nan gersang.
Tole hanya
mampu merenung memikirkan nasib yang dialaminya, memikirkan biaya sekolah anak
– anaknya, dan memikirkan kebutuhan sekeluarga mereka yang tergantung dari hasil panen.
“Saya bingung, gagal panen dan bagaimana
memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya sekolah anak – anak. Hanya ini mata
pencaharian saya. Mudah – mudahan pemerintah memperhatikan penderitaan kami.”
Meski
demikian, Tole tetaplah seorang petani, tidak akan berhenti menggarap sawah dan
menanam padi.
“Kita
menunggu saja alam, dan mengikuti kemauan alam, kapan alam akan memberikan
waktu saya bercocok tanam kembali," ucap Tole memelas penuh harap kepada Tuhan.
Berdasarkan
data dari Dinas Kehutanan Prov Sulut,
Pertanyaannya,
dimanakah peran pemerintah selaku pengambil kebijakan ketika menghadapi
perubahan iklim khususnya di sulut. Langkah Mitigasi nya, ataukah
masyarakat disuruh ber adaptasi dengan alam ?
Penulis : Raden Suratman