Iklan

September 8, 2022, 21:56 WIB
Last Updated 2022-09-09T04:56:18Z
Politik

Indonesia Butuh Calon Alternatif


SALAH satu faktor yang menyebabkan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya, disebabkan kejenuhan terhadap calon-calon yang tampil berkompetisi pada pemilu.

Demikian salah satu rangkuman yang diangkat Pengamat Politik Universitas Samratulangi, Manado, DR. Ferry Daud Liando, pada diskusi publi k“Capres Alternatif, Mengapa Tidak?” yang digagas Komite Pemilih Indonesia (TePI) Sulawesi Utara, di Manado, Kamis (08/9).

Menurut Liando, berangkat dari hasil penelitiannya di tahun 2015, bahwa calon alternatif tidak hanya merujuk pada aktor politik akan tetapi merujuk juga pada institusi politik. Aktor dan partai politik, hanya berputar putar pada nama nama yang sama dan tidak mengarah pada perbaikan demokrasi.

“Korupsi makin merajalela, pelayanan publik makin buruk dan harga konsumsi makin mahal dan menyulitkan masyarakat,” ujar dia.

Lanjut menurutnya, bahwa calon presiden hanya bisa diusung oleh parpol. Sehingga, apapun alasannya, calon yang diusung parpol harus diterima masyarakat. 

Hal ini karena baik konstitusi maupun UU 7 tahun 2017, tidak memberikan ruang bagi publik untuk memunculkan calon alternatif, karena terganjal Parliamentary atau President Threshold.

“Undang undang tidak memberi jalur lain untuk mengusung calon presiden selain parpol. Kita tidak dimungkinkan untuk mengusung calon dari jalur independen seperti di Amerika,” tambahnya lagi.

Karena itu, Parpol harus selektif menyeleksi calon, karena banyak figur-figur yang sudah teruji, tidak korup, visioner, memiliki komitmen kebangsaan dan nasionalis, namun tidak diberi kesempatan oleh parpol untuk menjadi calon.

Ditempat yang sama, Koodinator TePI, Jeirry Sumampouw, sependapat dengan Liando. Menurutnya, nama nama yang mengemuka saat ini, sudah muncul 5 tahun lalu.

Sumampouw mempertanyakan, apakah dari 200an juta penduduk Indonesia, tidak lagi memiliki calon lain?

“Calon alternatif perlu untuk meningkatkan gairah publik. Selama ini, pemilih terjebak dalam serangan pencitraan yang dilakukan Parpol diberbagai platform sosial media,”ungkap Sumampouw.

Apalagi menurut poengamatannya, beberapa calon yang muncul belakangan ini, tidak satupun yang serius menanggapi kenaikan harga BBM.

Sehingga, tidak heran jika pertanyaan salah satu lembaga survey tentang calon calon yang ada, dapat menyelesaikan persoalan bangsa, jawabannya, 50% tidak yakin.

“Hal ini pertanda bahwa masyarakat inginkan figur baru. Karena itu, kembalikan Pemilu pada hakikat sebenanrnya, yakni perang gagasan.” Tambah Sumampouw lagi.

Sementara, Jerry Massie, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) memberikan beberapa kriteria terhadap calon alternative. Menurutnya, pemimpin kedepan harus cerdas, visioner, bukan dreamer dan out of box.

“Calon alternatif juga, harus cerdas dalam merespons persoalan persoalan kebangsaan, bukan pemimpi, namun bertindak dan mengimplementasikan berbagai program dalam kerjanyata,”katanya.

Sejumlah nama mencuat dalam diskusi yang dihelat di Café De’Kersen ini, sebagai figur alternatif  yang dapat dipertimbangkan sebagai calon Presiden maupun Wakil Presiden pada Pemilu 2024 nanti.

Mantan ketua MK, Prof Jimly Asshiddigie, Ketua Umum PBNU, Gus Yahya, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Haedar Nashir, Rizal Ramly, Mendagri Tito Karnavian.

Satu nama yang mencuat diakhir diskusi, adalah Cendekiawan Ilham Habibie, pengusaha yang juga pakar dibidang Tekhnologi. Jeirry Sumampouw, memberikan catatan khusus terkait nama terakhir ini.

“Ïlham dapat ditawarkan sebagai figure alternatif, karena memiliki kapasitas dan kemampuan. Hanya saja selama ini, kiprah Ilham belum maksimal terpublikasikan.”

Selain itu, Sumampouw berharap, agar figur ini dapat melepaskan diri dari bayang bayang Presiden ketiga RI, BJ. Habibie sebagai orangtuanya. Karena menurutnya, hal itu akan memberikan kesan politik dinasti.***