Iklan

October 24, 2023, 19:07 WIB
Last Updated 2023-10-25T02:09:27Z
NasionalPemerintahanPendidikanUtama

Raja Surakarta ke III Nan Romantis dan Pecinta


Jurnal Manado - Riwayat Pakubuwono IV (3): Sunan Bagus nan Romantis, Cintai Permaisuri hingga Akhir Hayat


Lahir     : 31 Agustus 1768 atau 2 September 1768


Naik tahta : 29 September 1788

Wafat   : 1 Oktober 1820

Ayah   : Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana III

Ibu :  Kangjeng Ratu Beruk

Nama kecil : Raden Mas Gusti Subadaya


Gelar pangeran : Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram I


Gelar lengkap : Sampeyan Dalam Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhanan Prabu Sri Pakubuwana IV Senapati ing Alaga Ngabdulrahman Saiyiduddin Panatagama


Julukan : Sunan Bagus


Istri    5 orang :  yakni Raden Ajeng Handaya/Bendara Raden Ayu Adipati Anom/Kangjeng Ratu Pakubuwono, Raden Ajeng Sakaptina/Kanjeng Ratu Adipati Anom/Kanjeng Ratu Kencana Wungu Adimurti/Kanjeng Ratu Agung, Kanjeng Ratu Purbayun, Kanjeng Ratu Kencana/Narang Ngulu, Raden Ayu Rantamsari/Mas Ayu Rantansari.

Anak  : 56 orang



Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana IV adalah sosok romantis yang cinta istri dan anak-anaknya. Raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat berjejuluk Sunan Bagus karena dinobatkan dalam usia muda dengan wajah yang tampan ini begitu mencintai Raden Ajeng Handaya yang dinikahinya semasa masih menjadi putra mahkota dengan gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram II, 1783.


Raden Ajeng Handaya yang kerap juga dicatat sebagai Raden Ayu Handaya atau Andaya adalah putri sulung R. Adipati Cakraningrat, bupati Pamekasan di Pulau Madura. Setelah 1,5 tahun lahirnya putra pertamanya, Raden Mas Gusti Sugandi, 13 Desember 1784, kebahagiaan Pangeran Adipati Anom berganti nestapa. Raden Ajeng Handaya yang kala itu telah bergelar Bendara Raden Ayu Adipati Anom meninggal dunia, Agustus 1785.


Pangeran Adipati Anom yang sangat bersedih hati meminta jasad istrinya dikuburkan di serambi masjid milik Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang berada di Laweyan. Keinginan putra mahkota Sunan Pakubuwono III itu bertentangan dengan tradisi yang berlaku sejak Sultan Agung Hanyakrakusuma, yakni selalu memakamkan keluarga inti keturunan raja-raja Mataram di Permakaman Pajimatan di Imogiri.


Duka Pangeran Adipati Anom Amangkunegara atas kematian Andaya itu dimaklumi R.M. Sumantri Sumosaputro penulis Babad Amengeti Lalampahan Pakoe Boewono V yang terbit 1956 sebagai wujud nestapa yang dilandasi besarnya cinta kasih sang pangeran kepada istrinya. Jasad B.R.Ay. Adipati Anom dimakamkan di Laweyan demi mudahnya ia menengok makam istrinya. “Saking taksih kandel sih katresnan dalem dhumateng garwa dalem [karena masih dalam rasa cintanya kepada istrinya].”


Rasa cinta yang begitu dalam itu pula yang membuat Pangeran Adipati Anom Amangkunegara menyematkan gelar Kanjeng Ratu Pakubuwono penanda permaisuri raja kepada mendiang istrinya itu sesaat setelah dirinya dinobatkan sebagai Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakubuwana IV. Dengan gelar gelar Kanjeng Ratu Pakubuwono itu, mendiang istrinya itu tetaplah permaisuri utama kendati telah tiada lagi di dunia.


Hingga akhir hayatnya, Pakubuwono IV hanya tercatat memiliki lima orang istri. Jumlah itu jauh lebih minimalis ketimbang raja-raja lain Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Itupun, salah satunya adalah putri lain Adipati Cakraningrat, adik Raden Ajeng Handaya, bernama Raden Ajeng Sakaptina. Status Raden Ajeng Sakaptina juga permaisuri Pakubuwono IV, gelarnya Ratu Kencana Wungu Adimurti atau Kanjeng Ratu Agung,


Meskipun telah berpermaisuri baru melalui pernikahan ngrangulu, Pakubuwono IV tak kehilangan cintanya kepada mendiang Raden Ajeng Handaya atau Kanjeng Ratu Pakubuwono. Buktinya, setahun setelah ia menikahi adik Handaya, Pakubuwono IV mengangkat Sugandi sebagai pangeran adipati anom atau menjadi pewaris urutan pertama raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat.


Bocah buah kasih Pakubuwono IV dan mendiang Ratu Pakubuwono yang masih berusia tujuh tahun delapan bulan itu pun disemati gelar K.G.P.A. Anom Sudibya Rajaputra Narendra Mataram III. Itu juga berarti, pangeran yang belum delapan tahun usianya tersebut kini duduknya lebih dituakan di Kraton Solo ketimbang K.G.P.A. H. Mangkunagoro II, sang penguasa Puri Mangkunegaran.


Demi putra mahkotanya itu, Pakubuwono IV mencurahkan waktu untuk memberinya pendidikan terbaik. Selain menyiapkan guru-guru yang kompeten, ia tak enggan mengajar sendiri  Pangeran Adipati Anom dengan harapan kelak bisa menjadikan raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang mampu mengemban tugas mengelola kerajaan demi rakyatnya.


Pakubuwono IV memang dicatat sebagai raja Kasunanan Surakarta yang berwawasan luas dan dalam pula ilmu agamanya. Dari luas wawasannya, lahir banyak karya sastra, termasuk Serat Wulang Reh dan Serat Wulang Dalem yang merupakan nasihatnya kepada generasi penerus. Karya-karya sastra itulah yang ia wariskan kepada para generasi muda hingga kini, setelah ratusan tahun Pakubuwono IV tiada.


 


Sumber:


Pakempalan Ngarang Serat ing Mangkunagaran. 1918. Babad Panambangan, Commisie voor de Volkslectuur. Serie No. 392. Weltepredhen: Indonesise Drikkere.


Pakubuwono IV. 1931. Serat Wulang Reh. Kediri: Tan Gun Swi.

Pakubuwono IV. 1900. Serat Wulang Dalem dalam Bendhel Serat Warni-warni Angabei IV.

Sastrawikrama, Mas Ngabei. 1926. Serat Wicara Keras. Kediri: Tan Gun Swi.