Iklan

February 5, 2025, 04:05 WIB
Last Updated 2025-02-07T12:08:07Z
NasionalPemerintahanUtama

Kepala Daerah Dilarang Angkat Stafsus dan Tenaga Ahli


Jurnal Jakarta - Tenaga ahli dan Staf Khusus (Stafsus) Kepala Daerah jadi perhatian serius 

Badan Kepegawaian Nasional.

Pasalnya, pengangkatan tersebut rawan dijalankan untuk mengakomodir tim pemenangan atau kepentingan khusus.

Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) RI Prof Zudan Arif Fakhrulloh mengatakan, kepala daerah tak lagi mengangkat tenaga ahli atau stafsus. 

“Untuk kepala daerah terpilih tidak boleh mengangkat lagi pegawai. Akan ada sanksi tegas dari pemerintah pusat bila ada gubernur, bupati atau wali kota terpilih mengangkat pegawai lagi. Tidak dibolehkan,” tegas Zudan saat melakukan rapat evaluasi seleksi CPNS dan PPPK bersama Komisi II DPR RI, Rabu (5/2/2025)..

Prof Zudan mengaku banyak daerah yang kesulitan mengangkan tenaga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

Penyebabnya keterbatasan anggaran untuk gaji para PPPK.

Namun, dirinya menemukan fenomena daerah yang tetap mengangkat tenaga ahli padahal mengeluh soal gaji para PPPK.


"Banyak sekali dalam pengangkatan PPPK ini argumentasinya tidak ada dana, tidak ada anggaran, lah kok malah ngangkat lagi tenaga ahli, staf khusus, tim pakar yang membutuhkan anggaran," lanjutnya.

Dari data BKN RI, jumlah tenaga non ASN aktif atau honorer saat ini adalah 1.789.051 orang. Yang dinyatakan lulus PPPK 2024 tahap pertama mencapai 668.452 orang.

Sementara, yang dinyatakan tidak memenuhi syarat pada tahap pertama akan dialihkan pada seleksi tahap kedua sebanyak 207.459 orang.

Zudan menambahkan, jika kepala daerah ingin menambah pegawai, maka wajib melalui jalur CPNS. Tidak boleh lagi asal mengangkat.


“CPNS akan kita buka lagi baik untuk S1, S2 maupun S3. Akan kita siapkan, termasuk untuk kebutuhan dokter spesialis. Tapi tidak boleh stafsus, pakar atau tenaga ahli,” terangnya.


Sementara, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia, menyebut bahwa jumlah honorer terus bertambah. Karena kepala daerah lebih memilih mempekerjakan honorer dibanding CPNS.


Gaji yang lebih rendah dan kontrak kerja bisa diputus kapan saja jadi alasannya.


“Sampai sekarang ini yang jadi masalah karena kita belum tahu persis berapa sebenarnya jumlah tenaga honorer yang ada di seluruh Indonesia. Datanya selalu berubah karena ada peluang masih bisa dibuka, ya dibuka lagi. Kasihan, lama-lama gitu,” jelasnya.


Ia menegaskan, DPR RI dan pemerintah pusat sepakat agar mulai tahun 2025 tidak boleh lagi ada pengangkatan honorer. Jumlah yang ada saat ini akan dimanfaatkan sesuai dengan ketersediaan anggaran.


Jadi perlu ada aturan ketat dan komitmen dari kepala daerah untuk menyelesaikan baik PPPK penuh waktu dan paruh waktu,” ucap legislator partai Golkar itu. (*/jmg)