Iklan

November 10, 2025, 03:11 WIB
Last Updated 2025-11-10T11:34:20Z
Politik

Sitou Timou Tumoutou Memanusiakan Manusia Dalam Sebaris Antrian


 

Oleh : Dr. REINHARD TOLOLIU, Kajari Tomohon)


PEMANDANGAN antrian yang kacau, diwarnai aksi saling serobot dan adu mulut, telah menjadi fenomena sosial yang biasa ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Situasi ini seringkali hanya dianggap sekadar masalah ketidaksabaran atau kurangnya disiplin.
Namun, jika kita melihat lebih dalam, ini menunjukkan sebuah krisis etika publik.
Secara spesifik, praktik menyerobot antrian adalah antitesis langsung dari kearifan lokal Minahasa, Sitou Timou Tumou Tou.

Filosofi yang dicetuskan oleh Pahlawan Nasional Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi ini memiliki arti luhur : "Manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain".
Fenomena menyerobot antrian menunjukkan adanya kesenjangan yang dalam antara idealisme filosofis (mandat untuk memanusiakan sesama) dan realitas sosiologis (praktik dehumanisasi di ruang publik).
​Makna literal dari filosofi Sitou Timou Tumou Tou adalah "manusia hidup untuk memanusiakan manusia". Ini adalah sebuah postulat humanisme yang fundamental, yang menyerukan agar masyarakat Minahasa—dan Indonesia secara luas—menjunjung tinggi kasih terhadap sesama manusia.


.Sebuah studi terhadap makna filosofi ini menyiratkan bahwa status kemanusiaan seseorang bergantung pada tindakannya : "manusia dapat dikatakan sebagai manusia apabila ia telah memanusiakan orang lain".

Gagal melakukannya, seperti memandang orang lain lebih rendah atau "menepelekan" orang lain demi kepentingan pribadi. Ini berarti menjauhkan diri dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

​Dalam konteks tradisional, filosofi Sitou Timou Tumou Tou termanifestasi secara kolektif dalam budaya Mapalus, yaitu sistem gotong royong khas Minahasa. Mapalus adalah cerminan Sitou Timou Tumou Tou dalam skala komunal, di mana masyarakat saling membantu tanpa memandang latar belakang.

Ini adalah bukti bahwa Sitou Timou Tumou Tou adalah filosofi yang fungsional dan mampu membangun ketahanan sosial.
Namun, di sinilah letak tantangan modernnya. Jika Mapalus adalah manifestasi Sitou Timou Tumou Tou dalam konteks komunal-agraris (misalnya, saling membantu di ladang), maka antrian seharusnya menjadi manifestasi Sitou Timou Tumou Tou dalam konteks urban-modern (saling menghargai hak di ruang publik yang terbatas).

Kegagalan membudayakan antrian mengindikasikan kegagalan dalam mentransformasi semangat kolektivisme Mapalus dari desa ke kota. Spirit kolektif  telah tergerus dan digantikan oleh praktik individualisme, di mana kepentingan pribadi didahulukan di atas ketertiban bersama.

​Secara sosiologis, sikap mengantri dalam masyarakat mencerminkan bagaimana individu dalam suatu komunitas menghargai aturan, kesabaran, dan tata krama. Ia adalah fondasi untuk menciptakan keteraturan dan keadilan dalam interaksi sosial.

Ungkapan "Budayakan Antri" yang sering dibaca ataupun didengar  secara implisit mengakui bahwa perilaku ini belum menjadi budaya atau kebiasaan yang mengakar.
Budaya antri bukanlah sesuatu yang muncul secara alami. Ia harus diajarkan dan dibiasakan sejak dini.
Mengajarkan anak untuk antri berarti melatih mereka menghargai giliran dan hak teman-temannya, yang kemudian membentuk karakter disiplin dan sabar. Tanpa pembiasaan, antrian hanya akan menjadi "wacana", bukan norma yang dipatuhi.
​Lebih dari sekadar norma sosial, mengantri adalah soal etika. Perbedaannya sangat jelas : menyerobot antrian bukan hanya tindakan yang tidak sopan, tetapi juga tindakan yang tidak etis (pelanggaran moral).
Mengapa demikian?
Karena pada prinsipnya, "orang yang datang lebih dahulu memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan lebih dahulu".

Ini adalah kesepakatan sosial dasar, baik tertulis maupun tidak, yang melandasi keadilan dalam alokasi sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, tindakan menyerobot adalah tindakan "merampas hak orang lain". Pelaku secara sadar mengabaikan hak orang lain yang telah datang lebih awal demi kepentingannya sendiri.
​Di sinilah titik temu antara kegagalan antri dan filosofi Sitou Timou Tumou Tou. Jika Sitou Timou Tumou Tou adalah mandat untuk "memanusiakan manusia lain", maka tindakan menyerobot antrian adalah "merampas hak orang lain". Kesimpulannya adalah : menyerobot antrian adalah tindakan dehumanisasi.
Saat seseorang menyerobot, ia secara implisit mengirimkan pesan bahwa waktunya lebih berharga daripada waktu

 semua orang yang telah lebih dahulu menunggu. Ia mereduksi orang-orang lain dalam antrian yang merupakan subjek
setara dengan hak yang sama—menjadi sekadar objek atas.

Sebuah studi terhadap makna filosofi ini menyiratkan bahwa status kemanusiaan seseorang bergantung pada tindakannya : "manusia dapat dikatakan sebagai manusia apabila ia telah memanusiakan orang lain".

Gagal melakukannya, seperti memandang orang lain lebih rendah atau "menepelekan" orang lain demi kepentingan pribadi. Ini berarti menjauhkan diri dari nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

​Dalam konteks tradisional, filosofi Sitou Timou Tumou Tou termanifestasi secara kolektif dalam budaya Mapalus, yaitu sistem gotong royong khas Minahasa. Mapalus adalah cerminan Sitou Timou Tumou Tou dalam skala komunal, di mana masyarakat saling membantu tanpa memandang latar belakang.

Ini adalah bukti bahwa Sitou Timou Tumou Tou adalah filosofi yang fungsional dan mampu membangun ketahanan sosial.
Namun, di sinilah letak tantangan modernnya. Jika Mapalus adalah manifestasi Sitou Timou Tumou Tou dalam konteks komunal-agraris (misalnya, saling membantu di ladang), maka antrian seharusnya menjadi manifestasi Sitou Timou Tumou Tou dalam konteks urban-modern (saling menghargai hak di ruang publik yang terbatas).

Kegagalan membudayakan antrian mengindikasikan kegagalan dalam mentransformasi semangat kolektivisme Mapalus dari desa ke kota. Spirit kolektif  telah tergerus dan digantikan oleh praktik individualisme, di mana kepentingan pribadi didahulukan di atas ketertiban bersama.

​Secara sosiologis, sikap mengantri dalam masyarakat mencerminkan bagaimana individu dalam suatu komunitas menghargai aturan, kesabaran, dan tata krama. Ia adalah fondasi untuk menciptakan keteraturan dan keadilan dalam interaksi sosial.

Ungkapan "Budayakan Antri" yang sering dibaca ataupun didengar  secara implisit mengakui bahwa perilaku ini belum menjadi budaya atau kebiasaan yang mengakar.
Budaya antri bukanlah sesuatu yang muncul secara alami. Ia harus diajarkan dan dibiasakan sejak dini.
Mengajarkan anak untuk antri berarti melatih mereka menghargai giliran dan hak teman-temannya, yang kemudian membentuk karakter disiplin dan sabar. Tanpa pembiasaan, antrian hanya akan menjadi "wacana", bukan norma yang dipatuhi.
​Lebih dari sekadar norma sosial, mengantri adalah soal etika. Perbedaannya sangat jelas : menyerobot antrian bukan hanya tindakan yang tidak sopan, tetapi juga tindakan yang tidak etis (pelanggaran moral).
Mengapa demikian?
Karena pada prinsipnya, "orang yang datang lebih dahulu memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan lebih dahulu".

Ini adalah kesepakatan sosial dasar, baik tertulis maupun tidak, yang melandasi keadilan dalam alokasi sumber daya yang terbatas. Oleh karena itu, tindakan menyerobot adalah tindakan "merampas hak orang lain". Pelaku secara sadar mengabaikan hak orang lain yang telah datang lebih awal demi kepentingannya sendiri.
​Di sinilah titik temu antara kegagalan antri dan filosofi Sitou Timou Tumou Tou. Jika Sitou Timou Tumou Tou adalah mandat untuk "memanusiakan manusia lain", maka tindakan menyerobot antrian adalah "merampas hak orang lain". Kesimpulannya adalah : menyerobot antrian adalah tindakan dehumanisasi.
Saat seseorang menyerobot, ia secara implisit mengirimkan pesan bahwa waktunya lebih berharga daripada waktu semua orang yang telah lebih dahulu menunggu.la mereduksi orang-orang lain dalam antrian yang merupakan subjek setara dengan hak yang sama—menjadi sekadar objek atas.