Oleh : Dr. Reinhard Tololiu, Kajari Tomohon]
"Ujian moralitas sebuah pemerintahan adalah bagaimana pemerintah itu memperlakukan mereka yang berada di fajar kehidupan, anak-anak; mereka yang berada di senja kehidupan, kaum lanjut usia; dan mereka yang berada dalam bayang-bayang kehidupan, kaum sakit dan difabel." — Hubert H. Humphrey
MENJELANG akhir Desember 2025, Sulawesi Utara memaparkan sebuah pertunjukan kehidupan yang sarat kontras. Kota Manado, bak sebuah panggung yang luas, mempertunjukkan dua sisi drama sekaligus: gemerlap perayaan dan tragedi kemanusiaan yang amat menyentuh hati. Di satu sisi, kita dapat menyaksikan denyut nadi konsumerisme di bawah tajuk “Natal Kedua”. Namun di sisi lain, kita dipaksa untuk berhadapan dengan kenyataan suram yang merenggut nyawa di Panti Werdha Damai.
Semua ini dimulai pada 26 Desember, ketika pusat perbelanjaan seperti Manado Town Square (Mantos) dipenuhi oleh ribuan warga. Media sosial dipenuhi oleh luapan sukacita bersama, kemacetan yang dianggap sebagai simbol kemeriahan, dan antrean panjang di gerai makanan.
Tetapi, realitas ini berubah drastis hanya dalam waktu 48 jam. Di malam 28 Desember, api mengamuk di Panti Werdha Damai di Ranomuut, merenggut 16 nyawa lansia yang tak berdaya. Mereka yang seharusnya menikmati masa tua mereka dengan tenang, justru harus meregang nyawa dalam kondisi yang memprihatinkan, terjebak di balik dinding tanpa akses evakuasi yang memadai.
Peristiwa ini bukanlah sekadar musibah belaka, melainkan sebuah fenomena yang dalam kacamata sosiologi modern dijelaskan oleh Ulrich Beck sebagai Masyarakat Risiko. Beck berpendapat bahwa modernisasi tidak hanya menciptakan kekayaan (seperti yang kita lihat di pusat perbelanjaan), melainkan juga risiko-risiko baru yang seringkali tidak terdistribusi secara adil.
Di Manado, risiko tersebut menumpuk pada kelompok yang paling rentan: para lansia di panti yang infrastruktur keselamatannya luput dari pengawasan. Sungguh disayangkan bahwa di tengah pembangunan kota yang megah, aspek keselamatan dasar bagi kaum senior justru seolah menjadi catatan kaki yang terlupakan.
Tragedi ini juga menyingkap ketimpangan infrastruktur yang lebih luas. Fakta bahwa identifikasi korban harus menunggu proses uji DNA di Jakarta selama dua pekan menunjukkan kesenjangan kapabilitas forensik antara pusat dan daerah. Dalam perspektif teori Center-Periphery yang kerap dibahas dalam ilmu politik, ketergantungan ini menandakan bahwa desentralisasi belum sepenuhnya menyentuh aspek-aspek krusial dalam manajemen krisis.
Respons cepat dari tokoh nasional seperti Hashim Djojohadikusumo dan pemerintah daerah patut diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab etis. Akan tetapi, bantuan karitatif—betapapun besarnya—tidak boleh menggantikan urgensi perbaikan sistemik.
Kehadiran negara tidak cukup hanya dirasakan pasca-bencana. Negara, meminjam konsep Social Contract dari Jean-Jacques Rousseau, memiliki kewajiban mendasar untuk menjamin keselamatan warganya sebelum bencana terjadi. Ketiadaan jalur evakuasi yang layak bagi penghuni berkursi roda di sebuah fasilitas perawatan adalah indikasi bahwa implementasi regulasi keselamatan bangunan kita belum optimal.
Kita perlu merenungkan: Apakah kemajuan kota ini hanya diukur dari seberapa panjang antrean di pusat perbelanjaan, atau dari seberapa amankah para orang tua kita tidur di panti asuhan? Peristiwa viral yang silih berganti, mulai dari sukacita Natal hingga duka kebakaran, bahkan kebingungan informasi terkait isu “Sarinah”, memperlihatkan betapa rapuhnya ekosistem informasi dan emosi kita.
Ke depan, tragedi Ranomuut harus menjadi titik balik, bukan hanya sekadar statistik akhir tahun. Pembangunan fisik harus berjalan beriringan dengan pembangunan “infrastruktur moral” yang mengutamakan keselamatan nyawa manusia—terutama mereka yang paling lemah. Sudah saatnya kita mengubah duka ini menjadi tuntutan konstruktif akan standar keselamatan yang lebih manusiawi. Jangan sampai cahaya lilin perayaan kita kembali redup oleh asap kelalaian yang merenggut nyawa.
Karena pada akhirnya, martabat sebuah kota tidak terletak pada gedung-gedung pencakar langitnya, melainkan pada bagaimana ia melindungi mereka yang paling rentan yang hidup di dalamnya.(*)
