Iklan

December 5, 2013, 07:58 WIB
Last Updated 2013-12-05T15:58:29Z
Internasional

Demokrasi Bertangan Besi

Presiden AS dan Raja Arab
Jurnal,Arab Saudi-Ketika gelombang revolusi menyapu Timur Tengah, banyak pihak meyakini demokratisasi bakal terwujud di kawasan itu. Satu-satu rezim diktator rontok. Dimulai dari Presiden Zainal Abidin bin Ali (Tunisia), berlanjut ke Presiden Hosni Mubarak (Mesir), dan Muammar al-Qaddafi (Libya). 

Rupanya arus demokratisasi ini terganjal tembok tebal di Suriah. Sudah 32 bulan perang meletup di sana, Presiden Basyar al-Assad masih bercokol di tampuk kekuasaan. Persoalannya bukan saja itu. Yang terjadi bukan lagi tuntutan rakyat Suriah agar ada iklim demokrasi di negaranya. Namun, niat itu telah dikotori tangan-tangan asing. 

Di luar itu, demokratisasi di Timur Tengah seolah pilih-pilih. Demonstrasi menuntut pemerintah mundur hanya terjadi di negara republik semu, namun di negara kerajaan suara-suara antirezim sengaja dihilangkan. Seperti di negara-negara Teluk Persia, termasuk Arab Saudi.

Padahal, negara Dua Kota Suci ini bersekutu dengan Amerika Serikat kerap mengklaim sebagai bapak demokrasi dunia. Saking akrabnya hubungan kedua negara, Saudi memecahkan rekor sebagai negara paling besar meneken kontrak pembelian senjata dengan Amerika. Nilainya hampir USD 30 miliar. Di negara ini juga terdapat perusahaan minyak terbesar sejagat bernama Aramco (Arab American Oil Company). 

Tapi persahabatan dengan Amerika itu tidak mengubah iklim demokrasi di Saudi. Mereka tetap menekan kelompok minoritas, termasuk kaum Syiah dan perempuan. Jangan-jangan Amerika memang sengaja memelihara kondisi itu di Saudi. Bobroknya kebebasan di Negeri Petro Dolar ini tergambar dalam laporan tahunan bertajuk Kebebasan di Dunia 2013 dilansir lembaga Freedom House.

Dari 47 negara berkategori tidak bebas, Saudi termasuk dalam sembilan negara terburuk dari terburuk soal kebebasan berpolitik dan kebebasan warga sipil. Di kelas ini tergabung pula Eritrea, Guinea Ekuatorial, Korea Utara, Somalia, Sudan, Suriah, Turkmenistan, dan Uzbekistan.

Padahal, Saudi paling getol menyokong upaya menggulingkan Assad. Mereka seolah tidak berkaca: kediktatoran sudah lama bersemayam di Saudi.

Pangeran Talal bin Abdul Aziz, saudara Raja Abdullah bin Abdul Aziz, pun mengakui hal itu. "Orang-orang ini (keluarga kerajaan) cuma ingin mempertahankan kekuasaan, uang, dan gengsi mereka," katanya seperti dilaporkan surat kabar the New York Times awal Juni 2011. "Mereka mau memelihara status quo. Mereka takut kata perubahan."(mdk)