Iklan

June 12, 2014, 07:55 WIB
Last Updated 2014-06-14T15:07:19Z
Manado

Harley : Pilkada berjalan dengan baik apabila indikatornya berjalan baik pula

Jurnal,Manado - Pusat penelitian politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoesia (LIPI) mengadakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan topik Format Pemilukada yang Ideal Kamis (12/6), di hotel Qualiti.
Para peserta FGD, Prof Dr Indira Samego (LIPI), Sri Nuryanti (LIPI), Dr Ferry Liando (Akademisi), Dr Harley Mangindaan (Praktisi), Yessy Momongan (Ketua KPU), Harwin Malonda (Ketua Bawaslu), Livie Allow (Mantan Ketua KPU), Dr Victor Mailangkay, (DPRD Sulut), Dr Tommy Sumakul (DKPP Sulut), Toar Palilingan SH MH (Pengamat), Jemmy Ringkuangan (KNPI), Vanda Jocom (AIPI Manado).
Wawali yang diberikan kesempatan pertama dalam FGD tersebut menyatakan, soal pilkada ada indikator yang menunjang kearah lebih baik. Mulai dari penyelengara, perekrutan, lembaga hukum serta penegakkan aturan. “Sistim yang berjalan ini bagian dari pelaksanaan soal pilkada atau pilcaleg yang akan harmonis dan berkualitas ketika semua indikator tersebut berjalan dengan baik. Banyak pengalaman yang terjadi  dalam proses Pilcaleg yang perlu mendapat perhatian semua pihak. Penyelenggara berawal dari perekrutan tentunya harus lebih baik agar tidak pengaruhi proses demokrasi yang tengah berjalan. Begitu juga soal lembaga hukum yang bisa pertegas semua ketentuan yang melanggar agar ada kepastian dimata masyarakat hingga menimbulkan kepercayaan akan kualitas pesta demokrasi tersebut,” ungkap Wawali.  
Toar Palilingan sendiri menyatakan, memang dalam pemilukada harus mencari format yang ideal. Termasuk  pengaturan tersendiri mengingat pola itu dikaitkan dengan penentuan demokrasi dan kehidupan bermasyarakat.  “Perlu pemahaman secara total akan proses dan perekrutan calon agar lahirkan pemimpin yang berkualitas sebagai penyelenggar daerah dengan melihat kapabilitas dan legitimasi pemimpin. Jujur saya lihat peraturan undang-undangan ada yang hilang yakni persyaratan calon kepala daerah. Contohnya dengan hanya bermodalkan ijasah paket C bisa calonkan diri, padahal akan memimpin jajaran birokrasi butuh kemampuan,” ungkap Palilingan.
Lanjutnya, dalam input dalam Partai Politik (Parpol) terkait perekrutan sudah tidak ideal.
“Seperti untuk calon perseorangan, tidak sesuai dukungan pada saat verifikasi yang parameternya harus jelas bukan hanya berdasarkan dukungan melalui KTP meski itu merupakan syarat formil,” jelasnya.
Akan  partisipasi politik saat ini menurut Palilingan,  money politik sangat pengaruhi tingkat sumbangsih warga di Pemilu. Hal ini menandakan, Parpol sangat berperan dalam demokrasi untuk menentukan kualitas output-nya. “Seleksi internal dalam parpol agar calon yang akan dipercayakan masyarakat memang betul-betul bisa memimpin,” ujarnya. 
Sementara itu, Ketua Bawaslu Harwin Malonda mengakui, ada indikasi hasil pilcaleg memang digenjot agar perwakilan Parpol yang duduk di DPRD untuk megantisipasi ketika pilkada melalui DPRD.  “Tapi parpol posisi kunci untuk batas penentuan kursi. Sedangkan soal seleksi peserta dalam pemilu harus menjadi persyaratan mutlak. Pasti akan diverifikasi untuk kepala daerah termasuk latar belakang pendidikannya. Artinya semua ketentuan yang diatur harus dijalankan termasuk nanti dalam soal laporan dana kampanye,” katanya.
Dr Ferry Liando sendiri lebih menyorot pasca pilkada. Dia menyatakan, terkesan akan ada perebutan proyek karena berkaitan dengan dukungan karena biaya politik saat ini begitu mahal.
“Harus ada syarat kepemimpinan kepala daerah yang tentunya menjadi tantangan bagi Manado.  Jangan karena ada uang bisa jadi calon,  sementara biaya politik mahal sehingga terjadi belakangan perebutan proyek di pemerintahan,” tegas Liando.
Hal ini lanjutnya lebih disebabkan kaderisasi tidak jalan, yang bahasa sederhananya, Parpol lakukan sekolah politik dengan ada proses ujian untuk akhirnya didorong sebagai pejabat publik. “Idealnya sosok yang akan didorong itu 5 tahun di parpol agar bisa hindari tidak memiliki skil. Contoh, di DPRD hanya 40 persen yang bisa bicara selebihnya diam. Itu karena tidak dipersiapkan secara matang, hal ini juga menjadi pengalaman pemilu lalu.  Kaderisasi Parpol tidak jalan karena ada bukan anggota Parpol justru jadi Caleg. Belum lagi jual beli nomor urut. “Tidak heran jika kebesaran parpol bukan karena kapasitas anggota DPR tapi berapa suara yang berhasil didapat. Intinya bagaimana kemudahan untuk terpilih, tapi saya tekankan sepanjang memiliki kapasitas tidak dipersoalkan bukan karena backroundnya anak pejabat atau hubungan kedekatan. Meski dengan mata telanjang fenomena tersebut terlihat jelas,” sentil Liando.  
Salah satu peserta FGD Vanda Yocom melihat, ada fenomena pasca pilkada yakni
Balas jasa dan balas dendam. “Meski ada pejabat berkualitas tapi beda pemikiran politik saat pilkada, harus digusur,” ujarnya.

Prof Dr Indira Samego pun menyatakan, dari semua persoalan yang terjadi dalam proses pilkada, tentunya  soal keamanan juga perlu diperhatikan.(luq)