
Jurnal,Manado
- Pusat penelitian politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indoesia (LIPI) mengadakan
kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dengan topik Format Pemilukada yang Ideal
Kamis (12/6), di hotel Qualiti.
Para
peserta FGD, Prof Dr Indira Samego (LIPI), Sri Nuryanti (LIPI), Dr Ferry Liando
(Akademisi), Dr Harley Mangindaan (Praktisi), Yessy Momongan (Ketua KPU),
Harwin Malonda (Ketua Bawaslu), Livie Allow (Mantan Ketua KPU), Dr Victor
Mailangkay, (DPRD Sulut), Dr Tommy Sumakul (DKPP Sulut), Toar Palilingan SH MH
(Pengamat), Jemmy Ringkuangan (KNPI), Vanda Jocom (AIPI Manado).
Wawali
yang diberikan kesempatan pertama dalam FGD tersebut menyatakan, soal pilkada
ada indikator yang menunjang kearah lebih baik. Mulai dari penyelengara,
perekrutan, lembaga hukum serta penegakkan aturan. “Sistim yang berjalan ini
bagian dari pelaksanaan soal pilkada atau pilcaleg yang akan harmonis dan
berkualitas ketika semua indikator tersebut berjalan dengan baik. Banyak
pengalaman yang terjadi dalam proses
Pilcaleg yang perlu mendapat perhatian semua pihak. Penyelenggara berawal dari
perekrutan tentunya harus lebih baik agar tidak pengaruhi proses demokrasi yang
tengah berjalan. Begitu juga soal lembaga hukum yang bisa pertegas semua
ketentuan yang melanggar agar ada kepastian dimata masyarakat hingga
menimbulkan kepercayaan akan kualitas pesta demokrasi tersebut,” ungkap
Wawali.
Toar
Palilingan sendiri menyatakan, memang dalam pemilukada harus mencari format
yang ideal. Termasuk pengaturan
tersendiri mengingat pola itu dikaitkan dengan penentuan demokrasi dan
kehidupan bermasyarakat. “Perlu
pemahaman secara total akan proses dan perekrutan calon agar lahirkan pemimpin
yang berkualitas sebagai penyelenggar daerah dengan melihat kapabilitas dan
legitimasi pemimpin. Jujur saya lihat peraturan undang-undangan ada yang hilang
yakni persyaratan calon kepala daerah. Contohnya dengan hanya bermodalkan
ijasah paket C bisa calonkan diri, padahal akan memimpin jajaran birokrasi
butuh kemampuan,” ungkap Palilingan.
Lanjutnya,
dalam input dalam Partai Politik (Parpol) terkait perekrutan sudah tidak ideal.
“Seperti
untuk calon perseorangan, tidak sesuai dukungan pada saat verifikasi yang
parameternya harus jelas bukan hanya berdasarkan dukungan melalui KTP meski itu
merupakan syarat formil,” jelasnya.
Akan partisipasi politik saat ini menurut
Palilingan, money politik sangat
pengaruhi tingkat sumbangsih warga di Pemilu. Hal ini menandakan, Parpol sangat
berperan dalam demokrasi untuk menentukan kualitas output-nya. “Seleksi
internal dalam parpol agar calon yang akan dipercayakan masyarakat memang
betul-betul bisa memimpin,” ujarnya.
Sementara
itu, Ketua Bawaslu Harwin Malonda mengakui, ada indikasi hasil pilcaleg memang
digenjot agar perwakilan Parpol yang duduk di DPRD untuk megantisipasi ketika
pilkada melalui DPRD. “Tapi parpol
posisi kunci untuk batas penentuan kursi. Sedangkan soal seleksi peserta dalam
pemilu harus menjadi persyaratan mutlak. Pasti akan diverifikasi untuk kepala
daerah termasuk latar belakang pendidikannya. Artinya semua ketentuan yang
diatur harus dijalankan termasuk nanti dalam soal laporan dana kampanye,”
katanya.
Dr
Ferry Liando sendiri lebih menyorot pasca pilkada. Dia menyatakan, terkesan
akan ada perebutan proyek karena berkaitan dengan dukungan karena biaya politik
saat ini begitu mahal.
“Harus
ada syarat kepemimpinan kepala daerah yang tentunya menjadi tantangan bagi
Manado. Jangan karena ada uang bisa jadi
calon, sementara biaya politik mahal
sehingga terjadi belakangan perebutan proyek di pemerintahan,” tegas Liando.
Hal
ini lanjutnya lebih disebabkan kaderisasi tidak jalan, yang bahasa
sederhananya, Parpol lakukan sekolah politik dengan ada proses ujian untuk
akhirnya didorong sebagai pejabat publik. “Idealnya sosok yang akan didorong
itu 5 tahun di parpol agar bisa hindari tidak memiliki skil. Contoh, di DPRD
hanya 40 persen yang bisa bicara selebihnya diam. Itu karena tidak dipersiapkan
secara matang, hal ini juga menjadi pengalaman pemilu lalu. Kaderisasi Parpol tidak jalan karena ada
bukan anggota Parpol justru jadi Caleg. Belum lagi jual beli nomor urut. “Tidak
heran jika kebesaran parpol bukan karena kapasitas anggota DPR tapi berapa
suara yang berhasil didapat. Intinya bagaimana kemudahan untuk terpilih, tapi
saya tekankan sepanjang memiliki kapasitas tidak dipersoalkan bukan karena
backroundnya anak pejabat atau hubungan kedekatan. Meski dengan mata telanjang
fenomena tersebut terlihat jelas,” sentil Liando.
Salah
satu peserta FGD Vanda Yocom melihat, ada fenomena pasca pilkada yakni
Balas
jasa dan balas dendam. “Meski ada pejabat berkualitas tapi beda pemikiran
politik saat pilkada, harus digusur,” ujarnya.
Prof
Dr Indira Samego pun menyatakan, dari semua persoalan yang terjadi dalam proses
pilkada, tentunya soal keamanan juga
perlu diperhatikan.(luq)