Pengertian walak menurut kamus
bahasa Tontemboan yang dikutip Prof G.A. Wilken tahun 1912 dapat berarti:
Cabang keturunan
Rombongan Penduduk
Bahagian Penduduk
Wilayah kediaman cabang
keturunan.
Jadi Walak mengandung dua
pengertian yakni Serombongan penduduk secabang keturunan dan wilayah yang
didiami rombongan penduduk secabang keturuan.
Kepala walak artinya pemimpin
masyarakat penduduk secabang keturunan,
Tu’ur Imbalak artinya wilayah
pusat kedudukan tempat pertama sebelum masyarakat membentuk cabang-cabang
keturuan.
Mawalak artinya membahagi tanah
sesuai banyaknya cabang keturunan.
Ipawalak artinya membahagi tanah
menurut jumlah anak generasi pertama, tidak termasuk cucu dan cicit.
Penelitian G.A. Wilken ini
membantah laporan residen Belanda Wensel yang menulis bahwa arti kata Walak
dari bahasa Melayu Balok karena Kapala Walak Minahasa harus menyediakan Balok
kayu untuk pemerintah Hindi Belanda abad 18. Kata Walak adalah kata Minahasa
asli di wilayah Tontemboan, Tombuluk, Tonsea dan Tondano. Jumlah Walak di
Minahasa sebelum jaman Belanda tahun 1679 tidak kita ketahui, ketika Minahasa
mengikat perjanjian dengan VOC Belanda, terdapat 20 Walak di Minahasa. Memasuki
abad 19, jumlah Walak di Minahasa ada 27.
Penggabungan beberapa Walak yang
punya ikatan keluarga dan dialek bahasa serta “Peposanan” membentuk satu
“pakasa’an sehingga kepala-kepala Walak Pakasa’an Tombulu abad 17 haruslah
keturunan dotu Supit, Lontoh dan Paat. Pakasa’an tertua menurut “A’asaren Tuah
Puhuhna” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1870 adalah Toungkimbut di wilayah selatan
Minahasa sampai Mongondouw, Tountewoh di Tombatu sampai ke utara pantai
Likupang disebelah timur Minahasa dan Tombulu dibelahan barat Minahasa dari
Sarongsong sampai pantai utara Minahasa.
Menurut cerita beberapa tetua
keluarga Minahasa, masih ada dua Pakasa’an dalam cerita tua Minahasa yang pergi
ke wilayah Gorontalo (sekarang ini turunan opok Suawa) dan Tou-Ure yang tinggal
menetap di pengunungan Wulur – Mahatus. Tou-Ure artinya orang lama. Menurut
teori pembentukan masyarakat pendukung jaman batu besar atau “megalit” tulisan
Drs. Teguh Asmar dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun 1986. Jaman
Megalit terbentuk sekitar 2500 tahun sebelum Masehi, contoh jaman batu besar
adalah memusatkan upacara adat di batu-batu besar seperti Watu Pinawetengan.
Jaman batu baru atau jaman Neoit di Sulawesi Utara dimulai tahun Milenium
pertama sebelum masehi atau sekitar seribu tahun sebelum masehi. Contohnya
pembuatan batu kubur Waruga. Pada waktu itu orang Minahasa yang berbudaya
Malesung telah mengenal pemerintahan yang teratur dalam bentuk kelompok Taranak
secabang keturunan misalnya turunan opok Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan,
Mamarimbing, pemimpin tertinggi mereka adalah yang bergelar Muntu-Untu, yang
memimpin musyarah di Batu Pinwetengan pada abad ke – 7.
Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan
tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar
dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa
artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa. Belum dapat
ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an
Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toungkimbut
berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou. Kondisi Pakasa’an
di Minahasa pada jaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an
Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw (lihat gambar) dan
telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano
teridiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri
dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan.
Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.
Wilayah walak Toulour agak lain
karena selain meliputi daratan juga membahagi danau Tondano antara sub-walak
Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki Pakasa’an adalah
walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di
Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut
legenda etnis Bantik jaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu
Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu
abad ke-7 asal Toungkimbut (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut
istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 jaman Spanyol berarti ada tiga kali
musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.
Ratahan, Pasan, Ponosakan
Bahan data utama dari tulisan ini
diambil dari buku terbitan tahun 1871. Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai
dengan perdagangan dengan Ternate dan Tidore, pelabuhannya disebut Mandolang
yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari
pelabuhan Manado. Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut;
pada jaman raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu
Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah “Pikot” di
selatan Mandolang-Bentenan (Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni
Raliu yang kemudian mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan,
dan Potangkuman menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan.
Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang
Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena
dihadang armada perahu orang Tolour. Karena orang Ratahan bersahabat dengan
Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang” (Philipina Selatan) dan
bajak laut Tobelo.
Kepala Walak pada waktu itu
bernama Soputan mendapatkan bantuan tentara 800 orang dari Tombulu dipimpin
Makaware dan anak lelakinya bernama Watulumanap. Selesai peperangan pasukan
Tombulu kembali ke Pakasa’annya tapi Watulunanap menikah dengan gadis Ratahan
dan menjadi kepala Walak menggantikan Soputan yang telah menjadi buta. Antara
Minahasa dengan Ternate ada dua pulau kecil bernama Mayu dan Tafure. Kemudian
kedua pulau tadi dijadikan pelabuhan transit oleh pelaut Minahasa. Waktu itu
terjadi persaingan Portugis dan Spanyol dimana Spanyol merebut kedua pulau
tersebut. Pandey asal Tombulu yang menjadi raja di pulau itu lari dengan armada
perahunya kembali ke Minahasa, tapi karena musim angin barat lalu terdampar di
Gorontalo. Anak lelaki Pandey bernama Potangka melanjutkan perjalanan dan tiba
di Ratahan. Di Ratahan, dia diangkat menjadi panglima perang karena dia ahli
menembak meriam dan senapan Portugis untuk melawan penyerang dari Mongondouw di
wilayah itu. Tahun 1563 diwilayah Ratahan dikenal orang Ternate dengan nama
“Watasina” karena ketika diserang armada Kora-kora Ternate untuk menhalau
Spanyol dari wilayah itu (buku “De Katholieken en hare Missie” tulisan A.J. Van
Aernsbergen). Tahun 1570 Portugis dan Spanyol bersekongkol membunuh raja
Ternate sehinga membuat keributan besar di Ternate. Ketika itu banyak pedagang
Islam Ternate dan Tidore lari ke Ratahan. Serangan bajak laut meningkat di
Ratahan melalui Bentengan, bajak laut menggunakan budak-budak sebagai
pendayung. Para budak tawanan bajak laut lari ke Ratahan ketika malam hari
armada perahu bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan.
Kesimpulan sementara yang dapat
kita ambil dari kumpulan cerita ini adalah
Penduduk asli wilayah ini adalah Touwuntu
di wilayah dataran rendah sampai tepi pantai Toulumawak di pegunungan, mereka
adalah keturunan Opok Soputan abad ke-tujuh.
Nama Opok Soputan ini muncul lagi
sebagai kepala walak wilayah itu abad 16 dengan kepala walak kakak beradik
Raliu dan Potangkuman
.
Penduduk wilayah ini abad 16
berasal dari penduduk asli dan para pendatang dari Tombulu, Tompakewa
(Tontemboan), Tonsea, Ternate dan tawanan bajak laut mungkin dari Sangihe.
Peperangan besar yang melanda
wilayah ini menghancurkan Pakasa’an Touwuntu yang terpecah menjadi walak–walak
kecil yang saling berbeda bahasa dan adat kebiasaan yakni Ratahan, Pasan,
Ponosakan. Masyarakat Kawanua Jakarta mengusulkan agar wilayah ini dikembalikan
lagi menjadi Pakasa’an dengan satu nama Toratan (Tou Ratahan-Pasan-Ponosakan).
Karena negeri-negeri orang Ratahan, Pasan, Ponosakan saling silang, berdekatan
seperti butir padi, kadele dan jagung giling yang diaduk menjadi satu. Penduduk
wilayah ini memang sudah kawin-mawin sejak pemerintahan dotu Maringka akhir
abad 18.(js/**)