Iklan

October 2, 2014, 20:08 WIB
Last Updated 2014-10-03T03:08:15Z
Utama

Soekarno dan Merhaenisme



Jurnal,Jakarta - Setelah kasus G 30/S, aktivitas Presiden Soekarno mulai dibatasi di Jakarta. Ia lebih banyak menghabiskan waktu di Bogor dan Puncak. Hal ini juga yang membuat Interaksi Soekarno dan para anggota Resimen Tjakrabirawa lebih banyak.

Dalam buku 'Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno' yang ditulis Asvi Warman Adam dan 3 rekannya diceritakan banyak Interaksi antara Soekarno dan para pengawalnya.

Seperti dikutip detik.com, Jumat (3/10/2014) Jika Soekarno sedang berada di Wisma Batutulis, mereka akan lebih banyak berbincang tentang masalah pribadi, keluarga atau kebijakan-kebijakan negara.

"Kesempatan itu saya manfaatkan untuk bertanya dan mengalami gagasan dan pemikiran Bung Karno secara pribadi," kata Maulwi.

Pada satu kesempatan, Maulwi pernah menanyakan 'Ajaran Bung Karno' yakni soal marhaenisme, Trisakti dan character and nation building‎. "Sejauh mana relevansi gagasan pemikiran Bung Karno ini dalam waktu sekarang dan masa depan?" tanya Maulwi pada Soekarno.

Soekarno lalu menjelaskan bahwa ia memang memperkenalkan istilah baru yakni Marhaenisme yang terminologinya diambil dari seorang petani kecil di daerah Priangan, Jawa Barat. Petani itu bernama Marhaen. Saat itu mereka berbincang di tengah sawah. Marhaen yang miskin lalu dinilai sebagai gambaran orang Indonesia.

"Rakyat Indonesia yang keadaan sosialnya seperti itu (miskin) selanjutnya saya sebut sebagai kaum Marhaen. Mereka miskin. Rakyat yang susah hidupnya, yang menderita dan hidupnya sengsara," kata Maulwi mencontohkan Soekarno

Menurut Soekarno, pemakaian nama Marhaenisme itu melalui penelitian yang mendalam dan lama. Kemiskinan rakyat Indonesia terjadi akibat eksploitasi dari banyaknya sistem kekuatan pada rakyat Indonesia.‎ Saat masa kerajaan masih berkuasa, sebagian rakyat Indonesia diekslpoitasi oleh sistem feodalisme. Itu semakin diperparah saat penjajah dari Eropa datang. Mereka melakukan penindasan/pengeksploitasian itu.

"Kalau raja mengekploitasi rakyatnya dengan sistem feodalisme, maka penjajah mengekploitasi dengan sistem imperialisme," kata Soekarno saat itu.

Penelitian tentang itu membubuhkan analisis. Karena itu Soekarno mempelajari marxisme dan menggunakannya menganalisa keadaan di Indonesia. Ia mempelajari, mengamati, mempelajari susunan masyarakat terutama pada budaya dan membandingkannya dengan masyarakat Eropa

Menurut Soekarno, marxisme di Eropa melandaskan basis perjuangannya pada kaum proletar atau yang disebut kaum buruh yang tidak memiliki modal. Maka Soekarno menjadikan rakyat Indonesia yang melarat karena imperialisme sebagai basis perjuangan.

Meski menggunakan marxisme sebagai pisau bedah analisis, Soekarno menegaskan ia bukan komunis. Ia seorang nasionalis, seorang revolusioner.

Basis kekuatan perjuangan rakyat, menurut Soekarno, harus datang dari rakyat yang dimelaratkan oleh sistem imperialisme. Semua golongan masyarakat Indonesia yang dimelaratkan dirumuskan Soekarno sebagai kaum Marhaen.

"Paham marhaen merupakan doktrin perjuangan menyatakan potensi rakyat Indonesia yang serba kecil untuk menumbangkan tatanan kapitalisme yang melahirkan omperialisme dan kolonialisme," ucap Bung Karno
Ia menjelaskan ajaran Marhaenisme berbeda dengan marxisme di Eropa. Marxisme membela kaum pekerja sedangkan marhaenisme membela Si Marhaen yang miskin akibat imperialistik.

Karena itu jika kaum marxis menyerukan kaum proletar bersatulah, engkau tidak kehilangan sesuatu apapun kecuali rantai belenggu. Maka Bung ‎Karno menyerukan 'Hai seluruh rakyat Indonesia bersatulah dan berjuanglah untuk memperoleh kemerdekaan'.

Seruan untuk bersatu demi kemerdekaan ini mengacu pada sejarah perlawanan bangsa Indonesia yang selalu bisa dipatahkan Belanda karena bersifat sporadis, terpisah-pisha dan kedaerahan.

"Dalam hal ini tampak bagaimana pentingnya penggunaan analisis pengetahuan modern untuk melawan imperialisme. Saya lakukan dengan baik sehingga saya dikatakan sebagai penyambung lidah rakyat," ucap Soekarno.