
Jurnal,Jakarta - Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad, menyatakan akan mendalami dugaan
penyimpangan kontrak antara makelar (trader) PT Media Karya Sentosa atau Media
Energi, dengan anak perusahaan Pertamina, Pertamina Hulu Energi West Madura
Offshore dan Pertamina EP, terkait kasus suap jual beli gas di Bangkalan,
Madura. Dia menyatakan, kasus ini masih berkembang dan belum berhenti disidik.
"Iya lah itu didalami,"
kata Samad kepada awak media di Gedung KPK, Jakarta, Senin (15/12).
Namun Samad menyatakan, proses
pengembangan penyidikan kasus ini terikat aturan masa penahanan. Sebab menurut
dia, dalam perkara diawali oleh operasi tangkap tangan, penyidik harus
berkejaran dengan waktu bila tak mau tersangka mereka tetapkan bebas demi hukum
lantaran masa penahanannya berakhir. Meski demikian, dia meyakini penyidik bisa
menyelesaikan perkara tepat waktu dan mengajukan para tersangka ke meja hijau.
"Jadi begini dalam
pemeriksaan itu nanti akan berkembang. Nah pengembangan itu yang kita lakukan,"
ujar Samad.
Kasus ini berawal dari niat
Perusahaan Listrik Negara ingin membangun fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga
Gas di Gresik dan Gili Timur. Perseroan itu pun mengikat perjanjian dengan
pemerintah daerah setempat. Di Gresik, sumber pembangkit listrik itu sudah
berdiri. Sementara di Gili Timur sama sekali tidak dibangun.
Sebabnya diduga ada kejanggalan
kontrak jual beli gas antara Pertamina Hulu Energi West Madura Offshore,
Pertamina EP, dengan perusahaan makelar (trader) PT Media Karya Sentosa alias
Media Energi pada 2006.
Bupati Bangkalan saat itu, KH.
Fuad Amin Imron, sudah sepakat siap membangun PLTG itu. Tetapi, PLN ingin
supaya beban pembangunan pipa gas ke fasilitas itu ditanggung oleh pemerintah
setempat. Fuad menyetujui hal itu. Pasokan gas dipilih dari kilang lepas pantai
Madura Barat dikelola PHE-WMO. Sayangnya, pengiriman gas tidak dilakukan
langsung oleh Pertamina EP sebagai distributor, melainkan mesti lewat Media
Energi.
Fuad lantas membikin perjanjian
antara dia, Media Energi, dan Perusahaan Daerah Sumber Daya ihwal kontrak
pasokan gas dan pembangunan jaringan pipa ke PLTG. Dalam klausul kontrak
dinyatakan, dari jumlah pembelian gas sebanyak 40 BBTU, Media Energi
menyisihkan gas sebesar 8 BBTU buat memasok PLTG Gili Timur. Kontrak gas itu
pun sudah disetujui oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi (sekarang SKK Migas) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Namun dalam kenyataannya, Media
Energi dan PD Sumber Daya tidak pernah membangun jaringan pipa gas itu. PLTG
Gili Timur pun tinggal mimpi lantaran PLN membatalkan rencana dan
mengalihkannya ke Riau. Sementara gas buat pembangkit listrik itu pun tak jelas
ke mana larinya. Tetapi, ada kesepakatan terselubung antara Media Energi dan
Fuad. Sebagai imbalan kontrak jual beli gas fiktif, Media Energi wajib menyetor
uang kepada Fuad melalui PD Sumber Daya. Sementara Media Energi meraup
keuntungan berlipat dengan membeli gas dengan harga rendah.
Pertamina EP sebagai penyalur
menolak disalahkan dalam perkara itu. Mereka merasa sudah menunaikan kewajiban
dengan mengantar gas dari kilang ke tepat di titik serah pembeli, serta sudah
menjalankan perjanjian sesuai kontrak dan menjual gas dengan harga cukup baik.
Mereka juga menampik tudingan merugikan keuangan negara. Mereka menyangkal
dituding menjadi sumber kegagalan pembangunan PLTG Gili Timur. Masalah
pembangunan jalur pipa dari Gresik menurut mereka adalah urusan antara Media
Energi dan PD Sumber Daya.
Atas dasar sengkarut itulah,
Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menetapkan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Bangkalan, Jawa Timur, K.H. Fuad Amin Imron, dan anak buahnya Abdul
Rauf, serta Direktur PT Media Karya Sentosa, Antonio Bambang Djatmiko dan
Anggota TNI AL Kopral Satu Darmono sebagai tersangka kasus suap dan
gratifikasi. Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, gratifikasi atau
pemberian itu terkait penyimpangan perjanjian jual beli gas buat Pembangkit
Listrik Tenaga Gas di Gresik dan Gili Timur, Bangkalan.
Serah terima duit itu dilakukan
di Jakarta. Yakni tepatnya di Gedung AKA di Bangka Raya, Jakarta Selatan, pada
Senin (1/12) siang. Gedung itu diketahui milik Fuad. Pemberinya adalah Antonio.
Antonio menyerahkan duit sebesar
Rp 300 juta kepada ajudan Amin, Rauf. Saat ditangkap, di dalam mobil Rauf
ditemukan duit sebesar Rp 700 juta.
Tak lama setelah penangkapan
pertama, tim penyidik menangkap seorang anggota TNI Angkatan Laut berpangkat
Kopral Satu bernama Darmono di Gedung Energy Tower atau Energy Building di
Pusat Kawasan Bisnis Sudirman (SCBD) Jakarta. Gedung itu dikuasai oleh Medco
milik pengusaha Arifin Panigoro. Darmono adalah perantara dan ajudan Antonio.
Ketiganya lantas digelandang ke Gedung KPK.
Setelah ketiganya diringkus, tim
KPK pada Selasa dini hari menangkap Amin di rumahnya di Bangkalan. Pagi harinya
dia diboyong ke Gedung KPK.
Atas perannya itu, KPK
menyangkakan Amin dan Rauf dengan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 5 ayat 2
atau pasal 11 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana diubah pada UU No 20 tahun 2001 juncto pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHPidana. Keduanya kini dibui di Rutan KPK cabang Pomdam Jaya,
Guntur.
Sedangkan Antonio disangkakan
dengan pasal pemberi suap atau gratifikasi. Yakni pasal 5 ayat 1 huruf a atau b
dan pasal 13 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah pada UU No 20 tahun 2001. Dia dibui di Rutan
Cipinang Kelas I cabang KPK.
Sementara itu, KPK menyerahkan
proses hukum Koptu Darmono kepada Polisi Militer Angkatan Laut. Sebab, dia juga
ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus itu.