Iklan

February 3, 2021, 14:10 WIB
Last Updated 2021-02-03T22:11:07Z
NasionalUtama

Antara Moeldoko, AHY dan Partai Demokrat


Jurnal Jakarta - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, merasa prihatin ketika ada beberapa "tamu" yang menceritakan keadaan internal pabrik industri politiknya di kediamannya. Dalam hal ini, Moeldoko hadir hanya sebatas pendengar. Secara alami, ketika seseorang menceritakan kedaan rumah tangganya, tentu unsur pertama yang ikut dimainkan adalah perasaan. Moeldoko mengaku prihatin ketika para tamu membeberkan cerita.

Nama Moeldoko akhir-akhir ini memang ramai diperbincang terkait isu internal Partai Demokrat. Dalam Konferensi Pers di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Senin (1/2/2021), Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengklaim, isu terkait keadaan internal partainya melibatkan banyak pihak. 

Bahkan, AHY menyebut secara fungsional bahwa isu terkait keadaan internal partainya melibatkan mereka yang berada di lingkaran kekuasaan terdekat Presiden Joko Widodo. AHY menambahkan, gerakan tersebut juga telah mendapat dukungan dari pejabat penting dan menteri (Republik, 2/2/2021).

Isu tak sedap di lingkungan Partai Demokrat memang sudah muncul sejak beberapa hari belakangan ini. Ketum Partai Demokrat menduga adanya pihak-pihak yang mencoba berkomunikasi dengan kader-kader lain untuk menggulirkan Kongres Luar Biasa (KLB). 

Jika ini terjadi, maka ada upaya ekstra selanjutnya, yakni mengganti pimpinan Demokrat secara paksa. Lalu, pertanyaannya: "Apa kaitan isu internal kepartaian ini dengan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko?"

Sebagai tempat curhat banyak orang, Moeldoko dikejar berita dan isu. Ketika mereka yang datang curhat adalah orang-orang Demokrat, kecurigaan memang sesuatu yang tak mungkin dicegat. 

Di dalam dunia politik, komunikasi lintas partai atau non-partai adalah sesuatu yang perlu dicermati secara mendalam. Kecurigaan muncul, karena tamu-tamu yang datang ke Moeldoko, "mungkin" tak sempat berdiskusi atau meminta saran terlebih dahulu dengan pimpinan partai. Meminta masukan atau curhat dengan mereka yang non-partai, mungkin saja menjadi petaka bagi Ketum Demokrat AHY. Di sinilah letak membuncahnya lahar panas ketika kita berbicara soal partai politik.

Partai politik adalah mesin politik dalam berpolitik. Di dalam tubuh partai politik, ada begitu banyak furnitur partai dengan berbagai properti yang dirasa privat. 

Seperti sebuah kamp militer, partai politik memiliki peta dan amunisi politik pribadi. Maka, bagi setiap anggota partai, diharapkan untuk menjaga dan mengelola semua aset politik ini dengan baik -- termasuk bagaimana jika keadaan internal partai mengalami gangguan (disorder). 

Untuk menjaga aset partai, maka dibutuhkan profesionalitas para anggota. Profesionalitas keanggotaan partai, dalam hal ini seharusnya mampu menjaga kondisi internal rumah tangga partai.

Soal tamu dari Demokrat yang mendatangi Moeldoko, hemat saya, itu hal biasa. Sebagai bagian dari lingkaran istana, Moeldoko tentunya "welcome" dengan semua tamu. 

Persoalannya justru ada pada apa yang menjadi konten pembicaraan para tamu dan apa harapannya ke depan. Memilih tempat curhat tertentu biasa saja muncul karena adanya unsur ketidakpercyaan (untrusted). 

Pertanyaan terbesar untuk saat ini justru demikian: "Kenapa para tamu tak mendatangi Ketua Umum Partai Demokrat saja dan duduk bersama untuk mengkaji dan mengevaluasi keadaan internal partai daripada curhat ke Moeldoko?" Pertanyaan dijawab dengan menduga-duga juga.

Moeldoko menduga, namanya dikaitkan dengan isu Partai Demokrat hanya karena foto-foto para tamu yang bertandang ke kediamannya. Foto memang salah satu alat bukti. Akan tetapi, foto tak bisa dijadikan sebagai alat bukti kuat bahwa Moledoko terlibat dalam isu keadaan internal Partai Demokrat. 

Jika masalah informasi seputar selebritis (insert), mungkin bukti foto-foto bisa menjadi bahan penggiring opini. Dari sini, Moeldoko berpesan agar Ketum Demokrat AHY tak mudah baperan. Jika AHY mudah "baper," dengan mudah opini lainnya terkait tamu-tamu Demokrat, digiring untuk untuk dijadikan data dan fakta dalam menyuling informasi.

Ada beberapa hal yang mungkin bisa dicermati dalam mengevaluasi situasi ini. Pertama, tamu-tamu yang "curhat" ke kediaman Moeldoko merasa kurang nyaman dengan pimpinan. Kenapa demikian? Logikanya, di rumah sendiri (Demokrat) pasti ada pimpinan dan penasihat. Jika merasa nyaman dan tahu soal fungsionaris kepartaian, anggota partai tak seharusnya membicarakan soal keadaan partainya ke pihak non-partai.

Ada beberapa hal yang mungkin bisa dicermati dalam mengevaluasi situasi ini. Pertama, tamu-tamu yang "curhat" ke kediaman Moeldoko merasa kurang nyaman dengan pimpinan. Kenapa demikian? Logikanya, di rumah sendiri (Demokrat) pasti ada pimpinan dan penasihat. Jika merasa nyaman dan tahu soal fungsionaris kepartaian, anggota partai tak seharusnya membicarakan soal keadaan partainya ke pihak non-partai.

Kedua, pola komunikasi internal partai, justru mengalami gangguan (disorder). Hemat saya, semua informasi terkait lingkungan partai -- apalagi isu sensistif berupa persoalan -- seharusnya menjadi konsumsi internal partai, bukan dipublikasikan. 

Jika dipublikasikan, itu juga atas izinan pimpinan partai, penasihat partai, dan tim ahli kepartaian. Ini bagian dari kode etik keanggotaan partai. Jika pola komunikasi jelas dan baik, saya yakin, upaya branding informasi tidak mungkin dengan mudah sampai ke orang-orang non-partai.

Ketiga, netralitas dan profesionlitas. Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan tentunya mempunyai posisi netral dalam menengahi berbagai persoalan. 

Moeldoko tak berafiliasi dengan partai manapun dan ini menjadi identitas seorang staf istana kepresidenan. Tugas ini kemudian dihadirkan dalam praksis nyata Moeldoko untuk berperan "hanya sebatas" jika ia dimintai untuk berbicara terkait persoalan-persoalan tertentu. 

Oleh karena itu, Moeldoko sangat sensitif ketika problem ini menyentuh nama Presiden Joko Widodo. Tugas Moledoko memang menjaga komunikasi internal lingkaran istana.

Moledoko mengaku prihatin dengan "isi curhat" para tamu. Selebihnya tidak. Jika Moeldoko justru memberi solusi ada pertimbangan kebijakan lain terkait persoalan laiknya partai politik, profesionalitas dan netralitasnya sebagai seorang Kepala Staf Kepresidenan dipersoalkan.

Dari ketiga hal di atas, saya justru menilai bahwa pola komunikasi internal partai menjadi hal serius untuk dikaji dan dievaluasi. Jika ada kecurigaan terkait komunikasi yang melewati batas-batas portal kepartaian, Ketum tentunya harus cepat turun tangan untuk menenangkan. Hal ini disiasaati agar atmosfer lingkungan partai tetap kondusif dan citra parpol tetap terjaga.(kompasiana/jurnalmanado)