 
Jurnal Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengintensifkan penyidikan kasus korupsi terkait pembagian kuota haji tambahan tahun 2023–2024 yang diduga terjadi pada era Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Untuk memperkuat bukti, KPK memanggil empat perwakilan biro travel untuk dimintai keterangan sebagai saksi pada Kamis (30/10/2025). Mereka yang hadir adalah Ninik (PT Safina Dania Wisata), Yusuf Dedi Fachroni (PT Alwan Zahira), Ening Widiarti (PT Tri Mitra Rezeki Wisata), dan Abid Rauf (PT Batemuri Tours).
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa penyidikan kasus ini melibatkan skala yang masif. Hingga saat ini, lebih dari 300 Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) telah diperiksa. Proses ini juga melibatkan auditor dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung kerugian negara, yang diperkirakan melampaui Rp1 triliun.
Meski penyidikan berjalan maraton, penetapan tersangka masih belum diumumkan. Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, berulang kali meminta publik untuk bersabar. Asep menegaskan bahwa penyidik masih mendalami keterangan dari berbagai pihak, termasuk nilai setoran komitmen yang diduga diberikan biro travel untuk mendapatkan jatah kuota tambahan secara tidak sah.
Kasus ini bermula ketika Indonesia menerima tambahan kuota haji sebanyak 20.000 jemaah dari Pemerintah Arab Saudi pada tahun 2023. Kuota tersebut diduga dibagi secara tidak proporsional, dengan masing-masing 10.000 untuk haji reguler dan haji khusus. Pembagian ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019, yang mengatur komposisi kuota haji reguler sebesar 92 persen dan haji khusus 8 persen.
Berdasarkan temuan KPK, kuota haji khusus tersebut diduga diperdagangkan dengan setoran bervariasi antara USD 2.600 hingga USD 7.000 per kuota kepada oknum di Kemenag. Sebagai barang bukti, KPK telah menyita aset berupa dua rumah mewah di Jakarta Selatan senilai Rp6,5 miliar yang diduga dibeli dari hasil suap tersebut. Penyidikan kasus ini secara resmi dimulai sejak 8 Agustus 2025.
(*)
 
