Oleh : Dr. Reinhard Tololiu – Kajari Tomohon)
Sulawesi Utara menyajikan sebuah paradoks agraris yang menyayat hati.
Di balik julukan "Bumi Nyiur Melambai" dan kekayaan "Emas Cokelat" (cengkih), tersembunyi realitas kerentanan yang akut. Sensus Pertanian 2023 oleh BPS menyalakan sirene bahaya : dalam satu dekade, jumlah petani gurem—mereka yang menggarap lahan kurang dari 0,5 hektare—melonjak drastis hingga bertambah 17.000 orang.
Fenomena "guremisasi" ini bukan sekadar angka statistik, melainkan bukti nyata terjadinya proses pemiskinan struktural dan fragmentasi lahan yang masif akibat tekanan ekonomi.
Kondisi ini diperburuk oleh volatilitas harga yang ekstrem. Petani cengkih dan kelapa terjebak dalam pasar oligopsoni, di mana harga didikte segelintir pemodal besar dan anjlok saat panen raya tanpa intervensi negara.
Lebih jauh, ketidakpastian tenurial mengancam ruang hidup mereka. Konflik agraria di Ratatotok, Minahasa Tenggara, memperlihatkan bagaimana petani pemilik lahan warisan berhadapan dengan aktivitas pertambangan ilegal.
Sementara di Kalasey Dua, benturan antara klaim pembangunan negara dan hak garap warga menunjukkan betapa lemahnya posisi tawar petani di hadapan hukum. Tanpa perisai regulasi, petani Sulut berjuang sendirian di tanah subur yang perlahan bukan lagi milik mereka.
Akar dari karut-marut ini adalah kevakuman regulasi (rechtsvacuüm) di tingkat daerah. Meskipun Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah ada, ketiadaan aturan turunan (Perda) di Sulawesi Utara membuat perlindungan petani bersifat ad-hoc dan tidak berkelanjutan.
Mengutip pandangan James C. Scott dalam The Moral Economy of the Peasant, petani pada dasarnya memiliki "etika subsisten" di mana fokus utama mereka adalah meminimalisir risiko, bukan sekadar memaksimalkan keuntungan.
Ketika negara absen memberikan jaminan keamanan terhadap guncangan pasar dan sengketa lahan, petani jatuh ke dalam apa yang disebut Henry Bernstein dalam Class Dynamics of Agrarian Change sebagai "himpitan reproduksi sederhana" (simple reproduction squeeze). Petani dipaksa bekerja lebih keras dengan hasil yang semakin sedikit. Bahkan seringkali berujung pada penjualan tanah yang melanggengkan siklus kemiskinan.
Filosofi agraria kita, yang termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945, menegaskan bahwa tanah berfungsi sosial, bukan semata komoditas kapital. Namun, fakta di lapangan menunjukkan terjadinya komodifikasi tanah yang tidak terkendali.
Konflik di Ratatotok dan Kalasey adalah manifestasi kegagalan negara menerjemahkan mandat konstitusi ke dalam kebijakan protektif. Absennya Satgas Anti-Mafia Tanah yang efektif dan skema asuransi tani di tingkat lokal membiarkan "hukum rimba" berlaku : yang kuat memangsa yang lemah.
Jalan keluar dari kemelut ini adalah hadirnya negara melalui Peraturan Daerah (Perda) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang komprehensif. Regulasi ini tidak boleh sekadar macan kertas, melainkan harus menjadi institusionalisasi dari nilai kearifan lokal Mapalus. Jika dahulu Mapalus adalah gotong royong antar-warga, kini Pemerintah Provinsi harus bertindak sebagai "Mitra Mapalus" yang menanggung risiko bersama petani.
Secara teknis, Perda ini harus memuat tiga pilar intervensi strategis:
2. Jaminan Ekonomi dan Harga : Belajar dari Jawa Timur, Pemprov Sulut perlu mensubsidi premi Asuransi Usaha Tani untuk melindungi petani dari gagal panen. Untuk komoditas cengkih dan kopra, perlu didorong sistem resi gudang yang efektif dan hilirisasi produk.
3. Legalisasi Potensi Lokal : Langkah progresif Kabupaten Minahasa Selatan dalam melegalkan dan menghapus retribusi izin Cap Tikus harus diangkat ke level provinsi. Memberikan kepastian hukum pada produk kearifan lokal—seperti Cap Tikus dan olahan kelapa—akan mengubah status petani dari pelaku ilegal menjadi aktor ekonomi formal yang berdaya.
Pembentukan Perda Perlindungan Petani di Sulawesi Utara adalah sebuah imperatif moral. Kita tidak bisa membiarkan petani, sang penyangga pangan, terus tergerus oleh guremisasi dan ketidakadilan pasar.
Regulasi ini adalah wujud nyata dari semangat Si Tou Timou Tumou Tou—manusia hidup untuk memanusiakan manusia lain. Dalam konteks ini, memanusiakan berarti memberi rasa aman pada petani di atas tanahnya sendiri.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Bung Karno, Bapak Bangsa Indonesia:
"Pangan adalah soal mati-hidupnya bangsa. Apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, maka malapetakalah bagi bangsa tersebut."
Melindungi petani bukan sekadar melindungi profesi, melainkan melindungi kedaulatan hidup Sulawesi Utara itu sendiri. Saatnya hukum hadir bukan sebagai pedang yang menyakiti, melainkan sebagai perisai yang melindungi.(*)
