
Jurnal,Jakarta - Kepala Seksi Politik dan Keamanan Timur
Tengah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Harun Syaifullah
menegaskan Indonesia tidak akan membuka hubungan diplomasi politik
dengan Israel sebelum Palestina merdeka. Menurutnya, Indonesia sudah
sangat yakin dalam mendukung kemerdekaan Palestina, bahkan sejak
pemerintahan Presiden Soekarno.
"Harus dipahami juga bahwa konflik ini adalah persoalan kemanusiaan dan masalah penjajahan. Ini bukan masalah agama," ujar Harun dalam diskusi "Mendorong Perdamaian di Gaza melalui Two State Solution" di kantor Kontras, Jalan Borobudur, Jakarta, Rabu (16/7). Menurutnya, warga negara di Amerika maupun Eropa juga turut mengecam keras konflik kemanusiaan yang terjadi di Gaza.
Harun mengatakan pihak Kemenlu telah menyiapkan dana sebesar $ 1 juta dari APBN untuk Gaza. Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah membangun Indonesian Cardiac Center di sebuah rumah sakit di Gaza. Beasiswa pendidikan dari pemerintah Indonesia bagi mahasiswa Palestina pun dibuka.
"Kami juga terus menggalang peran Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Kami coba ke Dewan HAM di Jenewa. Segalanya kita coba,"
ujar Harun. Menurutnya, bagaimanapun PBB terdiri dari berbagai negara
sehingga aktor-aktor di dalamnya juga turut memengaruhi kinerja PBB.
"Negara yang menolak reformasi itu bukan negara kecil," katanya.
Sementara itu, Ketua Pusat Penelitian Politik LIPI Adriana Elisabeth mengatakan PBB harus netral agar bisa menciptakan perdamaian antara Palestina dan Israel. "Saya rasa kuncinya di Israel. Sebagai negara berdaulat, seharusnya Israel bisa menyelesaikan masalah ini. Sekarang kami tunggu bagaimana PBB bisa menyelesaikan masalah ini," ujar Adriana.
Ia juga menekankan konflik Israel-Palestina bukanlah isu agama. "Masyarakat harus diberitahu. Masyarakat harus tahu peta masalahnya seperti apa. Selama UN tidak bisa netral selama itu pula isu ini tidak bisa selesai," katanya. Adriana juga berpendapat konflik ini sangat kompleks sehingga perlu dimulai dengan diskusi yang tidak terlalu sensitif antara kedua belah pihak. "Mediator tidak boleh berpihak atau memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyerang," ucapnya.
Adriana juga berpendapat Indonesia memiliki posisi politik yang cukup baik untuk masalah ini. "Indonesia punya latar belakang yang bagus dalam memori bangsa Palestina. Bangsa ini punya posisi politik yang tegas," kata Adriana kemudian mengakhiri pembicaraan.(dtc)
"Harus dipahami juga bahwa konflik ini adalah persoalan kemanusiaan dan masalah penjajahan. Ini bukan masalah agama," ujar Harun dalam diskusi "Mendorong Perdamaian di Gaza melalui Two State Solution" di kantor Kontras, Jalan Borobudur, Jakarta, Rabu (16/7). Menurutnya, warga negara di Amerika maupun Eropa juga turut mengecam keras konflik kemanusiaan yang terjadi di Gaza.
Harun mengatakan pihak Kemenlu telah menyiapkan dana sebesar $ 1 juta dari APBN untuk Gaza. Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah membangun Indonesian Cardiac Center di sebuah rumah sakit di Gaza. Beasiswa pendidikan dari pemerintah Indonesia bagi mahasiswa Palestina pun dibuka.

Sementara itu, Ketua Pusat Penelitian Politik LIPI Adriana Elisabeth mengatakan PBB harus netral agar bisa menciptakan perdamaian antara Palestina dan Israel. "Saya rasa kuncinya di Israel. Sebagai negara berdaulat, seharusnya Israel bisa menyelesaikan masalah ini. Sekarang kami tunggu bagaimana PBB bisa menyelesaikan masalah ini," ujar Adriana.
Ia juga menekankan konflik Israel-Palestina bukanlah isu agama. "Masyarakat harus diberitahu. Masyarakat harus tahu peta masalahnya seperti apa. Selama UN tidak bisa netral selama itu pula isu ini tidak bisa selesai," katanya. Adriana juga berpendapat konflik ini sangat kompleks sehingga perlu dimulai dengan diskusi yang tidak terlalu sensitif antara kedua belah pihak. "Mediator tidak boleh berpihak atau memberikan pertanyaan-pertanyaan yang menyerang," ucapnya.
Adriana juga berpendapat Indonesia memiliki posisi politik yang cukup baik untuk masalah ini. "Indonesia punya latar belakang yang bagus dalam memori bangsa Palestina. Bangsa ini punya posisi politik yang tegas," kata Adriana kemudian mengakhiri pembicaraan.(dtc)