Iklan

July 1, 2015, 01:24 WIB
Last Updated 2015-07-01T08:24:00Z
Internasional

Pemuka Agama Buka Puasa Bersama di Washington DC



JM - Apa jadinya jika pemimpin tiga agama Abrahamik duduk dalam satu forum dan bicara tentang hubungan antar-umat beragama? Jawabannya satu kata: kerukunan.

Itulah yang terjadi pada acara buka puasa bersama masyarakat
Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat. Bertempat di masjid Indonesia yang dikenal dengan sebutan Indonesian Muslim Association in America (IMAAM) Center, Minggu (28/6/2015), acara dialog antar-iman itu didahului dengan pemutaran film “An American Mosque” besutan sutradara Yahudi bernama David Washburn.
“An American Mosque” adalah film dokumenter yang berkisah mengenai pembakaran sebuah masjid di California, AS, pada tahun 1994. Dirilis tahun 2012, film itu menggambarkan bagaimana komunitas muslim dengan dukungan dari komunitas agama lain membangun kembali masjid yang menjadi korban hate crime tersebut. Peristiwa pembakaran masjid itu merupakan yang pertama kali dalam sejarah Amerika.

David yang hadir pada diskusi mengatakan peristiwa bersejarah itu menunjukkan bahwa komunitas muslim dapat merespon hate crime yang ditujukan kepada mereka dengan santun dan jauh dari tindakan kekerasan.
“Peristiwa itu menunjukkan bahwa meskipun masjid mereka dibakar, reaksi mereka tidak menampilkan kekerasan. Selama ini stereotipe yang berkembang adalah kalau ada orang menggambar kartun Nabi Muhammad orang Islam akan marah besar. Namun perisitwa ini menjadi contoh bagaimana mereka merespons dengan damai,” kata David.

Menurutnya, hal semacam ini perlu dikomunikasikan ke publik Amerika untuk meluruskan anggapan yang berkembang bahwa Islam identik dengan kekerasan. Itulah alasan mengapa David membuat film berdurasi 27 menit tersebut.

Dialog sebagai kelanjutan dari pemutaran film itu dihadiri oleh wakil dari tiga agama Abrahamik: ustad Firdaus Kadir yang merupakan Ketua Board of Trustee IMAAM, pendeta Mansfield Kaseman yang menjabat sebagai Interfaith Liaison di Montgomery County, dan rabi Daniel Spiro yang merupakan salah satu pendiri Jewish-Islamic Dialogue Society of Washington.

Pada kesempatan tersebut, Firdaus memuji
Montgomery County sebagai kawasan yang ramah terhadap komunitas semua agama. Sebagai misal, saat pertama kali datang ke AS puluhan tahun lalu, dia mengaku heran karena County tersebut mencantumkan bulan Ramadan di kalendernya.

"Saya lihat bulan Ramadan ada di kalender sekolah publik di Montgomery County," kata Firdaus.

Dia juga bercerita mengenai beberapa pengalaman pribadinya yang menggambarkan bagaimana kerukunan antar-umat beragama terjalin di Amerika. Misalnya, sebuah gereja di Rockville, Maryland, yang pemimpinnya dikenal secara pribadi oleh Firdaus mengubah nama gerejanya dari Crusader Lutheran Church menjadi Living Faith Lutheran Church untuk menghargai komunitas muslim di sekitarnya.
"Waktu itu saya bilang, jangan mengubah nama gereja kalian karena kami. Kami tidak masalah dengan nama itu. Tapi kalau kalian memang mengubahnya karena keinginan sendiri, silahkan. Benar saja, enam bulan kemudian namanya diganti dan nama baru itu dipakai hingga sekarang," kata Firdaus.

Sementara Mansfield menegaskan bahwa Montgomery County berkomitmen untuk menjadi county yang paling ramah terhadap semua agama di seluruh Amerika.

“Itulah kenapa sekarang saya ada di sini. Tugas kami adalah untuk membuat Montgomery sebagai county yang paling ramah di seluruh Amerika,” katanya.

Adapun Daniel yang mengutip filusuf asal Belanda Baruch Spinoza mengatakan bahwa bibit kebencian bermuasal dari rasa sakit yang dibarengi dengan pemahaman bahwa ada faktor luar yang menyebabkan rasa sakit tersebut. Dengan pengertian semacam itu, adalah wajar jika ada begitu banyak kebencian dalam kehidupan manusia mengingat masyarakat hidup dalam suasana stres dan penuh tekanan sehingga ada rasa takut terhadap ‘yang lain’.

“Apa jadinya jika kita tidak mengenal ‘yang lain’? Kita menjadi tidak percaya, menjadi takut, menjadi benci,” kata Daniel.

Dengan latar belakang semacam itulah digagas ide dialog antara komunitas Yahudi dan Islam yang diharapkan dapat mengurangi rasa benci, takut, dan saling tidak percaya di antara kedua umat agama tersebut.

“Kami mengumpulkan dua kelompok yang dianggap sebagai musuh alamiah,” ujarnya.

Buka bersama dilanjutkan tarawih berjamaah secara rutin diselenggarakan di IMAAM Center setiap hari selama bulan Ramadan. Ratusan orang hadir dalam kegiatan tersebut, dan sebagian di antaranya adalah warga non-Indonesia. Presiden IMAAM, Amang Sukasih, mengatakan bahwa meski dimiliki oleh masyarakat Indonesia, masjid Indonesia terbuka bagi siapa saja.

“Kalau kepemilikan memang masyarakat Indonesia, tapi terbuka bagi siapa saja,” katanya.

Dia menambahkan, seluruh konsumsi untuk iftar selama Ramdan ditanggung secara gotong royong oleh masyarakat Indonesia di Washington DC dan sekitarnya. Selain iftar, program Ramadan yang lain adalah pesantren kilat dan iktikaf.(***)