Iklan

January 1, 2024, 22:38 WIB
Last Updated 2024-01-02T06:38:32Z
EkonomiNasionalPemerintahanPendidikanUtama

Mengenal Lebih Dekat Sulawesi Utara


Jurnal Manado - Provinsi Sulawesi utara merupakan provinsi yang terletak di ujung utara Pulau Sulawesi dan merupakan satu dari tiga provinsi di Indonesia yang terletak di utara garis khatulistiwa.  Secara geografis, wilayah ini terletak pada 0°LU-3°LU dan 123 BT-126 BT.  Wilayah ini memiliki 11 kabupaten dan 4 kota yang terdiri dari 171 kecamatan dan 1838 desa. Area Provinsi Sulawesi Utara tidak hanya berada dalam 1 pulau. Provinsi ini memiliki 294 pulau dan yang paling banyak adalah di Kabupaten Sangihe. Ibukota provinsi ini adalah Kota Manado.

Provinsi Sulawesi Utara mempunyai motto: “Si Tou Timou Tumou Tou” (Bahasa Minahasa: Manusia hidup untuk menghidupi/mendidik/menjadi berkat orang lain”). hari jadi Provinsi Sulawesi Utara yaitu pada tanggal 14 Agustus 1959, serta yang menjadi dasar hukumnya adalah UU 13/1964.


Total populasi di provinsi ini sebesar 2.575.933 jiwa, dengan total luas area 15069,00 km2. Suku-suku yang terdapat di provinsi ini antara lain: Suku bangsa Minahasa (30%), Sangir (19,8%), Mongondow (11,3%), Gorontalo (7,4%), Tionghoa (3%). Sedangkan agama yang hidup di provinsi ini terdiri dari Protestan (63.60%), Islam (30.90%), Katolik (4.40%), Kong Hu Cu (0.02%), Budha (0.14%) dan Hindu (0.58%).

Luas Wilayah

Luas wilayah Provinsi Sulawesi Utara adalah 15.069 km² dengan persentase 0,72% terhadap luas Indonesia yang terdiri dari sebelas Kabupaten dan empat Kota, dengan batas-batas sebagai berikut :

Sebelah utara berbatasan dengan Laut Sulawesi

Sebelah timur berbatasan dengan Laut Maluku

Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Maluku

Sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Gorontalo

 Geografis

Sulawesi Utara terletak di jazirah utara Pulau Sulawesi atau tepatnya 0°LU – 3°LU dan 123°BT – 126°BT serta merupakan salah satu daerah yang terletak di sebelah utara garis khatulistiwa.

Bahasa : Bahasa Indonesia & Bahasa Manado

Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan Indonesia, Indonesia terbagi menjadi delapan Provinsi, dan Sulawesi termasuk salah satu provinsi tersebut. Gubernur pertama Sulawesi adalah Dr. Sam Ratulangi, yang juga dikenal sebagai pahlawan nasional.

Tahun 1948 di Sulawesi dibentuk Negara Indonesia Timur, yang kemudian menjadi salah satu negara bagian dalam Republik Indonesia Serikat. Negara Indonesia Timur dibubarkan, dan bergabung ke dalam Republik Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor UU 13 Tahun 1964, dibentuk Provinsi Sulawesi Utara. Tanggal 14 Agustus 1959 di tetapkan sebagai hari jadi provinsi.

Seni & Budaya

Sulawesi Utara merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya Indonesia lainnya. Sulawesi Utara mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-tarian, dan budaya lainnya seperti:

Masamper (sebuah tradisi di wilayah Sangihe Talaud)

Pengucapan (atau Syukuran dalam tradisi Minahasa)

Pariwisata

Pulau Bunaken

Danau Linow

Bukit Doa Tomohon

Pulau Siladen

Pulau Lihaga

Pantai Lakban

Bukit Kasih

Ratatotok

Arum Jeram Timbukar

Gunung Duasudara

Pantai Malalayang

Pulutan, Sentra Kerajinan Gerabah

Waruga Sawangan


Bolaang Mongondow.

Bolaang Mongondow Selatan.

Bolaang Mongondow Timur.

Bolaang Mongondow Utara.

Kepulauan Sangihe.

Kepulauan Siau Tagulandang Biaro.

Kepulauan Talaud.

Minahasa.


Alat Musik

Berawal dari Sulawesi Utara hingga berbagai negara di dunia, alat musik tradisional Kolintang telah diakui keindahannya di dunia internasional. Mengutip dari wawancara goodnewsfromindonesia.id dengan Beiby Sumanti, pendiri Sanggar Bapontar, diceritakan bahwa Kolintang telah sukses melakukan pertunjukan di berbagai negara, salah satunya berhasil menghibur para tamu pada acara Malam Tamu Ratu Denmark di Istana Kepresidenan.

Selain sudah dikenal eksistensinya pada kancah internasional, Kolintang memiliki beberapa fakta menarik yang membuat alat musik tradisional khas Miahasa, Sulawesi Utara ini layak diperjuangkan untuk memperoleh pengakuan dunia. Mari kita simak beberapa fakta menariknya.

Asal usul nama Kolintang terinspirasi dari nada yang dikeluarkan dari suatu alat musik seperti “Tong” untuk nada rendah, “Ting” untuk nada tinggi, dan “Tang” untuk nada tengah, serta menggunakan istilah “ber tong ting tang” sambil mengungkapkan kalimat “Maimo Kumolintang” untuk mengajak orang memainkannya, sehingga lambat laun ungkapan tersebut berubah menjadi Kolintang.

Berdasarkan suara yang dihasilkan, alat musik Kolintang terbagi menjadi 9 jenis, yaitu loway (bass), cella (cello), karua (tenor 1), karua rua (tenor 2), uner (alto 1), uner rua (alto 2), katelu (ukulele), ina esa (melodi 1), ina rua (melodi 2), dan ina taweng (melodi 3).


Tarian Daerah Sulawesi Utara

1. Tari Sasambo Tari Sasambo adalah tari tradisional asal Sulawesi Utara yang ditarikan menggunakan iringan tagonggong.

Sasambo adalah puisi yang terdiri atas dua baris mengandung arti sebenarnya dan arti kiasan, yang mulanya brisi doa dan pujian kepadda Tuhan. Tarian ini bermula dari sebuah kebiasaan yang dilakukan setelah selesai upacara adat yang dilanjutkan dengan menyanyi sasambo dengan iringan tagonggong atau mesambo ringangu metagonggong. Tari Sasambo dilakukan secara berkelompok dengan peran sebagai mesasambone (penyanyi), penabuh tagonggong, para penari, dan seorang pemimpin grup. 


2. Tari Mopotobong Tari Mopotobong adalah tari tradisional Bolaang Mongondow yang ditarikan secara berkelompok. Dilansir dari laman Kemendikbud, Tari Mopotobong terinspirasi dari gerak nelayan menangkap ikan di laut. Iringan Tari Mopotobong menggunakan bunyi gendang, tolu, dan irama seruling, serta syair lagu rakyat dalam bahasa daerah. 


3. Tari Jongke Tari Jongke adalah tari tradisional asal Sulawesi Utara yang diangkat dari kebiasaan masyarakat pada zaman dahulu.


4. Tari Mosaw Tari Mosaw yang juga dikenal sebagai tari pengawal istana adalah tari tradisional Bolaang Mongondow.

Dilansir dari laman Kemendikbud, tarian ini dimainkan oleh 4 pasang penari pria dan wanita, serta seorang pemimpin. Tari Mosaw menggunakan iringan alat musik tradisional seperti gendang, kolintang,dan gong. Makna dari Tari Mosaw adalah untuk memupuk rasa kebersamaan yang penting dimiliki dalam kehidupan.


5. Tari Mopotilo Tari Mosaw adalah tari tradisional Bolaang Mongondow yang berasal dari kebiasaan masyarakat saat menerima tamu. Dilansir dari laman Kemendikbud, masyarakat setempat kerap menggunakan sirih pinang sebagai suguhan untuk menghormati tamu yang datang. Dari kebiasaan tersebut kemudian digambarkan sebagai rangkaian gerak tari yang indah. 


6. Tari Kalibombang Tari Kalibombang adalah tari pergaulan dari daerah Bolaang Mongondow yang ditarikan oleh muda-mudi. Dilansir dari laman Kemendikbud, cerita dalam tari Kalibombang diangkat dari kisah cinta antara seorang pemuda yang bernama Oyotang dengan Putri Kalibombang. Istilah Kalibombang sendiri merupakan simbol dari seorang putri yang cantik rupawan, selalu tersenyum, memiliki sifat keibuan, anggun dan menawan, sehingga banyak laki-laki tertarik padanya. Maksud dari tarian ini adalah untuk mengenang peristiwa sakral dalam cerita tersebut agar tidak mudah dilupakan oleh masyarakat. 


7. Tari Melasai Tari Mesalai adalah tari tradisional asal Sulawesi Utara yang ditarikan oleh kaum lelaki. Dilansir dari laman Kemendikbud, Tari Mesalai ditampilkan untuk melengkapi keramaian di saat pelaksanaan tari Gunde. Biasanya tarian ini dilakukan pada saat acara syukuran perkawinan, mendirikan rumah, menurunkan perahu baru, dan masih banyak lagi. 


8. Tari Kabela Tari Kabela adalah tari dari daerah Bolaang Mongondow yang menggambarkan budaya makan sirih dan pinang. Dilansir dari laman Kemendikbud, gerak dan lirik tari Kabela mengungkapkan wujud penghormatan kepada seseorang tamu yang datang berkunjung Nama tari Kabela disematkan karena sirih dan pinang yang disuguhkan kepada tamu diletakkan di dalam Kabela. Tari Kabela biasanya ditarikan oleh tiga orang penari wanita yang memakai pakaian adat Bolaang Mongondow. Sementara tiga orang pria lengkap dengan pakaian adat akan berperan sebagai penabuh gendang dan peniup suling. 


Pakaian Adat

Pakain adat pria Sangihe dan Talaud

Pakaian adat untuk kaum pria melambangkan keagungan masyarakat Sangihe dan Talaud. Pakaian pria ini di bagian lehernya berbentuk setengah lingkaran dan panjang bajunya hingga sebatas tumit. Lalu untuk pelengkapnya ditambahkan popehe dan juga paporong.



Popehe

Popehe adalah sejenis kain dari kofo yang dipakai dengan cara diikatkan pada pinggang sebelah kiri dan ujungnya terurai ke bawah. Fungsi popehe yang utama adalah untuk memperindah pakaian laku tepu dan menjadi simbol pembangkit semangat dalam mengatasi rintangan maupun melaksanakan tugas.



Paparong

Paparong adalah sehelai kain yang dipakai dengan cara diikatkan pada bagian kepala dan menutupi dahi. Paparong biasanya terbuat dari kain kofo yang kemudian dibentuk segitiga sama sisi dengan alas selebar 3 sampai 5 cm yang dilipat sebanyak tiga kali.



Paporong terbagi menjadi dua, yaitu paporong lingkaheng yang dipakai oleh pria dari golongan masyarakat biasa dan paporong kawawantuge yang dipakai oleh pria dari keturunan bangsawan.


Pakaian adat wanita Sangihe dan Talaud

Ada sedikit perbedaan antara laku tepu khusus pria dan laku tepu khusus wanita. Jika laku tepu pria bentuknya panjang hingga sebatas tumit dengan leher berbentuk setengah lingkaran, maka laku tepu wanita bentuknya adalah baju terusan dari leher sampai betis dengan lipatan berbentuk segitiga atau huruf “V” di bagian lehernya.



Selain itu, para wanita mengenakan kahiwu, bandang, dan botu pusige sebagai aksesoris tambahan pakaian Laku Tepu nya.


Kahiwu

Kahiwu adalah pelapis bagian dalam yang diikatkan di pinggang sebelah kiri dengan variasi lipatan (wiron) yang disebut “leiwade”. Bagi masyarakat biasa, lipatannya berjumlah 5 sedangkan para bangsawan lipatannya sebanyak 7 atau 9 lipatan.



Bandang

Bandang merupakan selembar kain berukuran 1,5 meter dengan lebar 5 cm yang diletakkan di bahu kanan dan ujungnya diikatkan ke pinggang sebelah kiri. Biasanya bandang hanya dikenakan oleh wanita dari kalangan rakyat biasa. Sementara wanita keturunan bangsawan menggunakan “kaduku atau animating” yang dapat memperindah Laku Tepu serta melambangkan status sosial pemakainya.

Pakaian Adat Bolaang Mongondow

Bolaang Mongondow merupakan suku etnis di provinsi Sulawesi Utara yang dulunya merupakan rakyat kerajaan Bolaang Mongondow. Pada zaman dulu, kebudayaan suku ini terbilang maju dibanding suku lainnya.

Hal ini dibuktikan dengan beragam jenis pakaian adat Sulawesi Utara yang masing-masing punya fungsinya sendiri. Misalnya, untuk pakaian sehari-hari, masyarakat suku Bolaang Mongondow mengenakan serat dari kulit kayu atau pelepah nanas. Serat yang dikenal dengan nama “lanut” ini kemudian ditenun menjadi kain. Kain hasil tenunan lalu dijahit menjadi pakaian sehari-hari.


Meski begitu, sekarang masyarakat sudah jarang menggunakan pakaian sehari-hari tradisional yang terbuat dari lanut tersebut. Sebagian besar memilih pakaian yang lebih modern dan kekinian.

Sementara itu, untuk upacara adat, masyarakat Bolaang Mongondow menggunakan pakaian “Banian” untuk pria dan “Salu” untuk wanita. Baniang merupakan pakaian hasil perpaduan antara destar yang diikatkan di kepala dan pomerus yang diikatkan di pinggang 

Sedangkan Salu merupakan baju dengan kelengkapan kain senket pelekat sebagai atasan dan bawahannya, lalu hiasan emas di bagian dada yang disebut dengan hamunse.

Baju Pengantin Bolaang Mongondow

Selain pakaian adat Banian dan Salu, baju pengantin suku Bolaang Mongondow juga termasuk pakaian adat Sulawesi Utara yang terkenal unik dan berkelas. Untuk pengantin pria, baju yang dikenakan berupa baju kurung yang terbuat dari kain satin antalas dengan warna kekuning-kuningan.

Di bagian muka, terdapat belahan yang memanjang hingga ke bawa

memakai kancing yang berwarna emas. Sementara bagian bawahnya memakai celana yang terbuat dari kain antalas. Lalu di bagian pinggangnya ada kain sutera yang dilingkarkan dan tambahan aksesoris keris bersarung emas yang disisipkan.

Selain itu, dari pinggang hingga lutut dililitkan kain sarung pomerus berwarna yang warnanya kontras dengan warna celana. Di bagian kepala terdapat hiasan berupa topi setinggi 28-30 cm yang dikenal dengan nama sakapeti atau mogilenso.


Untuk pengantin wanita akan mengenakan baju salu yang lehernya berbentuk seperti huruf V yang agak membulat. Lengannya panjang dan warna bajunya terlihat mencolok atau senada dengan warna baju pengantin pria.


Di sekitar dada dan leher dililitkan perhiasan hamsei dengan bintik-bintik berwarna keemasan. Hamsei ini terbuat dari kain beludru yang diberi hiasan keemasan agar terlihat mengkilap.


Untuk mempercantik tampilan, biasanya ditambahkan juga perhiasan kalung untaian emas, giwan, cincin, dan lokis untaian rambut berbentuk bunga di bagian dahi. Biasanya pakaian ini digunakan oleh para keturunan bangsawan.


Pakaian Kohongian

Kohongian adalah pakaian pengantin yang digunakan oleh golongan kedua setelah bangsawan. Sayangnya, saat ini pakaian Kohongian sudah jarang ditemukan karena itulah, pakaian ini harus dilestarikan sebagai bentuk warisan budaya daerah Sulawesi Utara.


Simpal 

Sama seperti Kohongian, Simpal termasuk pakaian adat Sulawesi Utara yang harus dilestarikan sebagai warisan budaya leluhur. Simpal biasanya hanya digunakan oleh kalangan bangsawan–seperti pendamping kerajaan pada upacara pernikahan..


Simpal sendiri merupakan pakaian adat berbentuk baju yang dipadukan dengan celana hitam bermotif emas untuk laki-laki. Sementara untuk perempuan, bawahannya menggunakan kain songket.


Pakaian Adat Minahasa (Bajang, Karai, dan Wuyang)

Suku Minahasa merupakan suku yang mendiami wilayah semenanjung Sulawesi Utara. Konon, peradaban suku Minahasa di masa lampau lebih maju dibandingkan suku-suku lainnya. Hal ini terlihat dari pengetahuan serta keterampilan memintal kapas untuk membuat pakaian sehari-hari yang bernama Bajang.


Bajang adalah baju berlengan panjang berkerah dan memiliki saku. Umumnya Bajang dipadukan dengan bawahan berupa celana pendek atau celana panjang.


Pakaian adat pria Minahasa (Karai)

Pakaian adat pria Minahasa bernama Karai. Ini adalah pakaian seperti kemeja lengan panjang berwarna hitam yang terbuat dari ijuk. Pakaian ini memiliki saku di bagian bawah dan atas nya.


Selain itu, ada juga aksesoris sulaman bermotif padi, kelapa dan ular naga pada bagian lengan serta bagian depannya. Pakaian ini biasanya dipadukan dengan celana hitam panjang yang polos tanpa hiasan dengan model melebar di bagian bawahnya.


Sementara itu, di bagian pinggang ditambahkan  ikat pinggang yang terbuat dari kulit ular patola dengan bentuk menyerupai mahkota.


Pakaian adat wanita Minahasa (Wayang)

Sedangkan, untuk pakaian adat wanita disebut Wuyang. Ini adalah pakaian sejenis kebaya berlengan panjang dengan warna putih dan terbuat dari kulit kayu. Di bagian bawahnya terdapat lipatan seperti ikan duyung yang melebar dan sulaman sujiber berbentuk bunga padi serta bunga kelapa.


Di bagian dada kiri, ditambahkan kembang kaca piring dan bunga melati. Untuk menambah kesan cantik pada pakaian wanita Minahasa, ditambahkan sanggul (konde), mahkota (kronci), kalung leher (kelana), kalung mutiara (simban), gelang dan anting.


Dalam adat Minahasa, konde yang dipakai oleh wanita terbagi menjadi dua jenis. Yang pertama adalah Konde Lumalundung yang menggunakan 9 bunga Manduru putih. Lalu yang kedua ada Konde Pinkan yang menggunakan 5 tangkai kembang goyang. Selain itu, mereka memakai Pasalongan Rinegetan atau gaun yang terbuat dari tenunan bentenan.


Seiring berjalannya waktu, pakaian adat Minahasa mendapatkan pengaruh dari budaya luar seperti China dan Spanyol. Sentuhan budaya Spanyol dapat dilihat pada pakaian wanita yang berupa kebaya dengan perpaduan rok yang bervariasi.


Sedangkan sentuhan China dapat dilihat dari baju kebaya berwarna putih yang dipadukan dengan kain khas China yang bermotif burung dan bungaan.

Lalu untuk pria, sentuhan budaya Spanyol terlihat dari baju lengan panjang yang modelnya menyerupai jas tutup dan dipadukan dengan celana panjang. Baju ini terbuat dari kain blacu berwarna putih.

Busana Pengantin Khas Minahasa

Selain yang sudah disebutkan sebelumnya, busana pengantin khas Minahasa juga menjadi pakaian adat Sulawesi Utara. Terutama yang dikenakan oleh pengantin perempuan, yaitu baju ikan duyung.


Baju ikan duyung ini terdiri dari kebaya putih dan kain sarung dengan warna serupa yang disulam dengan motif sisik ikan. Selain itu, ada juga sarung bermotif sarang burung yang dikenal dengan nama salim burung.


Lalu, ada lagi kain sarung dengan motif kaki seribu yang dikenal dengan nama kaki seribu serta sarung motif bunga yang disebut laborci-laborci. Nama pakaian ini diambil dari bentuknya terlihat seperti ikan duyung.


Untuk pengantin pria, memakai busana yang terdiri dari baju jas yang tertutup atau terbuka lalu dipadukan dengan celana panjang. Di bagian pinggang ditambahkan dengan selendang dan di bagian kepala ada aksesoris topi yang disebut porong. Semua aksesoris yang digunakan pengantin pria ini dihiasi dengan motif bunga padi.

Pakaian Adat Tonaas Wangko dan Walian Wangko

Tonaas Wangko adalah baju kemeja berlengan panjang dengan kerah yang tinggi. Model potongannya lurus dan ditambahkan dengan kancing serta tidak memiliki saku. Lalu untuk warnanya, menggunakan warna hitam.


Di bagian leher, ujung lengan, dan ujung baju bagian depan yang terbelah ada hiasan bermotif bunga padi dengan warna kuning keemasan. Saat dikenakan, Tonaas Wangko biasa dipadukan dengan topi merah tambahan motif bunga padi yang warnanya kuning keemasan.


Sementara itu, Walian Wangko adalah modifikasi bentuk dari pakaian adat Tonaas Wangko. Model baju Walian Wangko panjang mirip jubah dengan warna putih dan hiasan corak bunga padi.


Kaum pria minahasa biasa memadukan pakaian ini dengan topi porong nimiles yang terbuat dari 2 kain berwarna merah-hitam dan kuning-emas yang dililitkan. Perpaduan dua warna ini merupakan simbol dari 2 unsur alam, yaitu langit dan bumi, dunia serta alam baka.


Untuk kaum wanita, biasanya mengenakan Walian Wangko dengan model kebaya panjang berwarna putih atau ungu. Potongan bajunya tanpa kancing dan kerah. Saat dipakai, biasanya akan dipadukan dengan kain sarung batik berwarna gelap serta topi mahkota yang bernama Kronci.

Selain itu, para wanita juga biasa menambahkan selempang berwarna merah atau kuning, kalung leher, selop, dan sanggul. Umumnya semua aksesoris ini memiliki motif bunga terompet.


Baik Tonaas Wangko maupun Walian Wangko biasanya dikenakan oleh semua kalangan  pada saat menghadiri acara-acara resmi.

Pakaian Adat Gorontalo

Meskipun Gorontalo sudah memisahkan diri dari Sulawesi Utara dan menjadi Provinsi yang baru pada tahun 2000 lalu, tetapi pakaian adatnya masih diakui sebagai bagian dari pakaian adat Sulawesi Utara.


Pakaian adat masyarakat Gorontalo terbuat dari kapas mentah yang telah melalui proses pemintalan hingga berubah menjadi benang. Biasanya pakaian ini digunakan dalam berbagai macam acara, seperti acara pernikahan dan yang lainnya.


Pakaian adat laki-laki Gorontalo (Makuta)

Pakaian adat laki-laki Gorontalo memiliki lengan yang pendek dengan tambahan aksesoris kalung bakso, pasimeni, dan tudung makuta. Jika diperhatikan lagi, pakaian ini sedikit mirip dengan baju Melayu dan pakaian adat asal Riau.


Pakaian adat wanita Gorontalo (Biliu)

Pakaian adat wanita Gorontalo bentuknya mirip seperti kebaya, namun tanpa motif apapun dan dipadukan dengan rok atau sarung di bagian bawahnya. Selain itu, ditambahkan juga beberapa aksesoris seperti ikat punggang, gelang padeta, dan yang lainnya.


(*)